1 Juta Sarjana Menganggur: Ironi Bonus Demografi di Tengah Janji Indonesia Emas

Ilustrasi sarjana menganggur. (Foto: Dok. UNAIR)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah optimisme Indonesia meraih “bonus demografi” menuju Indonesia Emas 2045, angka pengangguran justru membayangi.

Lebih dari satu juta sarjana kini menunggu pekerjaan yang tak kunjung datang, sebuah ironi yang disorot oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi.

Di balik alokasi triliunan rupiah anggaran pendidikan, lulusan perguruan tinggi justru banyak yang ‘parkir’ di statistik pengangguran.

Nurhadi, anggota Komisi IX DPR RI, tak menutupi kekecewaannya saat bicara soal nasib lulusan perguruan tinggi.

Baginya, angka satu juta sarjana menganggur di Indonesia pada 2025 adalah potret buram di tengah narasi manis bonus demografi.

Di saat populasi usia produktif mendominasi, seharusnya peluang kerja terbuka lebar. Nyatanya, fakta di lapangan justru memprihatinkan.

“Lebih dari 1 juta sarjana menganggur, ini ironi besar di tengah bonus demografi yang katanya jadi peluang untuk Indonesia Emas,” kata Nurhadi lantang dalam pernyataannya, Selasa (8/7/2025).

Kalimatnya menampar realitas: potensi usia produktif tak berarti apa-apa jika link and match pendidikan dan industri mandek total.

Bukan Sekadar Angka

Sorotan Nurhadi bukan isapan jempol. Data yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam keynote speech di Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/7/2025), membeberkan kondisi nyata ketenagakerjaan Indonesia.

Total angkatan kerja Indonesia kini berjumlah 153,05 juta jiwa, dengan 145,77 juta orang bekerja dan 7,28 juta orang tercatat menganggur — setara 4,76 persen.

Di balik angka itu, lebih dari satu juta pengangguran adalah lulusan universitas: 1.010.652 orang sarjana, 177.399 lulusan diploma, 1,6 juta lulusan SMK, lebih dari 2 juta lulusan SMA, dan 2,4 juta lulusan SD-SMP.

Fakta ini menjadi ironi yang menggigit, menunjukkan betapa pendidikan tinggi belum menjamin masa depan cerah.

Ironi makin terasa saat melihat alokasi anggaran pendidikan yang fantastis. Tahun 2025, anggaran pendidikan nasional mencapai Rp76,4 triliun — Rp4,7 triliun di antaranya digelontorkan untuk pengembangan sarana dan prasarana perguruan tinggi negeri.

Namun, di mata Nurhadi, angka besar ini belum diiringi kebijakan nyata agar lulusan benar-benar terserap dunia kerja.

“Kita sedang menghadapi situasi absurd. Negara keluarkan triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi, tapi hasilnya malah jadi pengangguran. Mau sampai kapan bangsa ini pura-pura tidak tahu kalau link and match pendidikan dengan dunia kerja itu macet total?” tegas Nurhadi.

Bom Sosial

Politikus Partai NasDem itu mengibaratkan situasi ini sebagai ‘panen sarjana di ladang kosong’.

Baginya, persoalan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal masa depan sosial bangsa.

Jika dibiarkan, gelombang sarjana menganggur bisa jadi bom waktu yang merusak tatanan sosial dan kepercayaan pada pendidikan.

Nurhadi mendesak pemerintah melakukan transformasi total: pendidikan vokasional harus direformasi agar sesuai dengan kebutuhan industri masa depan, digitalisasi penyerapan tenaga kerja mesti dipercepat, dan koneksi pendidikan-industri harus dijembatani dengan kebijakan nyata.

Di sisi lain, Menaker Yassierli menegaskan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih jadi tantangan besar.

Mayoritas angkatan kerja — 85 persen — masih didominasi lulusan SMA dan SMK. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah mendorong program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang ditargetkan berjumlah 80.000 unit pada akhir 2025.

Dengan estimasi 25 orang per kopdes, pemerintah optimistis skema ini mampu menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja.

Yassierli berharap kopdes bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal sekaligus membuka ruang kerja bagi mereka yang belum terserap industri formal.

“Kalau koperasi diberikan tambahan modal, serapannya bisa lebih besar lagi,” ujarnya optimistis.

Di balik angka dan program, pertanyaan penting pun muncul: bonus demografi ini akan jadi berkah atau bencana?

Jika sinergi antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri tak kunjung dibenahi, impian Indonesia Emas bisa tinggal narasi di atas kertas.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS