Riviera Gaza: Api Kontroversi Trump di Jantung Timur Tengah

Presiden Donald Trump. (Foto:Dok. Reviera)

PARBOABOA, Jakarta - Rencana mengejutkan Donald Trump untuk menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah” memicu gelombang penolakan global.

Dari Arab Saudi hingga Cina, dari Hamas hingga rakyat Gaza sendiri, suara penentangan menguat, membongkar mimpi Trump yang dinilai mengancam kestabilan Timur Tengah, melanggar hukum internasional, dan menodai cita-cita rakyat Palestina.

Dengan keyakinan khasnya, Trump merancang skema untuk mengambil alih Gaza — daerah kantong Palestina yang hancur akibat perang — lalu membangunnya menjadi resor pesisir berkelas dunia yang ia sebut “Riviera Timur Tengah”.

Dalam visinya, warga Palestina akan direlokasi ke wilayah lain, membuka ruang bagi pembangunan kawasan wisata megah di tanah yang selama lebih dari 15 bulan terakhir digempur pengeboman, menewaskan lebih dari 47.000 jiwa menurut catatan Palestina.

Trump bahkan berani menyatakan bahwa langkahnya ini akan membawa harmoni di wilayah yang selama puluhan tahun terjerat konflik berdarah.

Ia pun membeberkan bahwa gagasan kontroversial ini didiskusikan bersama menantunya sekaligus mantan penasihat Gedung Putih, Jared Kushner, yang pada 2024 sempat menyebut Gaza sebagai “properti tepi laut yang berharga”.

Penolakan Keras

Namun, mimpi Trump itu langsung memantik badai protes dari berbagai penjuru dunia.

Arab Saudi, yang selama ini digadang-gadang Trump sebagai kunci normalisasi hubungan dengan Israel, tegas menolak usulan relokasi warga Palestina.

Turki menyebut rencana tersebut sama sekali tak bisa diterima, sedangkan Prancis memperingatkan bahwa tindakan semacam ini hanya akan memperburuk ketegangan di kawasan, memicu instabilitas, dan melanggar hukum internasional.

Cina pun angkat bicara melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lin Jian, menekankan bahwa prinsip “Palestina untuk rakyat Palestina” tak bisa diganggu gugat.

Sementara itu, Rusia, Jerman, Spanyol, Irlandia, dan Inggris tetap berpegang pada solusi dua negara yang sudah puluhan tahun menjadi kerangka kerja perdamaian Timur Tengah.

Semua sepakat: Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari masa depan Palestina bersama Tepi Barat.

Trump sendiri mengklaim telah berbicara dengan Raja Yordania Abdullah dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, meyakinkan publik bahwa keduanya akan “membuka hati” bagi warga Gaza yang direlokasi.

Namun, tak ada konfirmasi konkret dari kedua negara. Sebaliknya, banyak analis menilai pernyataan Trump lebih sebagai manuver diplomasi untuk menekan negara-negara Arab agar tunduk pada rencananya — atau setidaknya tidak menjadi penghalang normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi.

Kecaman dari Gaza

Bagi warga Gaza, rencana ini tak ubahnya mimpi buruk kedua setelah Nakba 1948 — malapetaka di mana ratusan ribu rakyat Palestina terusir dari tanah mereka seiring berdirinya negara Israel.

Demikian juga Hamas mengecam gagasan Trump sebagai “konyol dan tidak masuk akal”, memperingatkan bahwa ide semacam ini hanya akan menyulut konflik lebih besar di wilayah yang sudah rapuh.

Sami Abu Zuhri, juru bicara Hamas, menegaskan bahwa mereka berkomitmen pada kesepakatan gencatan senjata dengan Israel, tetapi pemindahan paksa warga Gaza bukanlah bagian dari solusi.

Sentimen serupa datang dari warga biasa. Samir Abu Basil, ayah lima anak dari Kota Gaza, menumpahkan kemarahannya kepada Reuters.

“Trump boleh pergi ke neraka dengan ide-idenya, uangnya, dan keyakinannya. Kami tidak akan kemana-mana. Kami bukan asetnya,” tegasnya.

Bagi Samir dan jutaan warga Palestina lain, tanah Gaza bukan sekadar rumah — tetapi identitas yang tak tergantikan.

Di tengah kontroversi ini, spekulasi muncul bahwa manuver Trump juga ditujukan untuk memuluskan jalan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel, mengikuti jejak Uni Emirat Arab dan Bahrain yang pada 2020 menandatangani Perjanjian Abraham.

Namun, Arab Saudi melalui Putra Mahkota Mohammed bin Salman menegaskan posisi Riyadh: tak akan ada kesepakatan tanpa pengakuan resmi terhadap negara Palestina.

Mantan perwira intelijen Israel, Michael Milshtein, melihat rencana Trump justru berpotensi menciptakan benturan baru.

“Mungkin Trump hanya ingin menekan negara-negara Arab agar tidak menjadi penghalang normalisasi. Tapi risikonya, ini justru memancing kemarahan,” katanya.

Sejauh ini, belum jelas apakah Trump benar-benar serius dengan rencana besarnya atau hanya memainkan kartu ekstrem sebagai strategi tawar-menawar.

Ia pun belum membeberkan jadwal pasti kunjungannya ke Gaza, Israel, maupun Arab Saudi.

Namun, satu hal yang pasti: gagasan menjadikan Gaza sebagai Riviera Timur Tengah bukan hanya mimpi real estat biasa, tetapi mimpi yang bisa membakar luka lama di Timur Tengah.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS