Mengungkap Modus Baru Sindikat Perdagangan Anak di Indonesia

Sindikat perdagangan anak semakin marak terjadi di beberapa provinsi di Indonesia (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Terungkapnya penculikan Balita Bilqis (4) di Makassar menjadi titik balik yang membuka jaringan kejahatan perdagangan anak yang ternyata menjalar ke berbagai provinsi. 

Kasus ini tidak hanya memperlihatkan kerentanan anak terhadap kejahatan terorganisir, tetapi juga menunjukkan bagaimana teknologi dimanfaatkan untuk memperluas praktik ilegal tersebut.

Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) Bareskrim Polri langsung terlibat sejak awal penanganan kasus ini. 

Pada Sabtu (15/11/2025), Direktur PPA-PPO Bareskrim Polri Brigjen Nurul Azizah menyampaikan bahwa pihaknya memberikan asistensi penuh dan menyiapkan penyelidikan gabungan untuk menindaklanjuti seluruh temuan terkait sindikat penjualan anak yang menggunakan modus adopsi ilegal.

Ia menegaskan bahwa seluruh temuan masih dianalisis secara mendalam dan perkembangan lanjutan akan disampaikan setelah tahap penyelidikan selesai.

Pemutusan kasus penculikan Bilqis kemudian membawa penyidik pada jaringan pelaku yang bergerak di Bali, Jawa Tengah, Jambi, dan Kepulauan Riau. 

Dalam penjelasan di Makassar pada Kamis (13/11/2025), Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan bahwa para tersangka mengakui adanya tempat kejadian lain yang berkaitan dengan praktik penjualan bayi dan anak di sejumlah wilayah tersebut. 

Ia juga menjelaskan bahwa pengusutan dilakukan bersama Bareskrim karena kasus ini melibatkan lintas yurisdiksi.

Melalui pengungkapan ini, Djuhandhani menegaskan bahwa kepolisian berkomitmen menjaga perlindungan masyarakat melalui penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan yang menyasar anak.

Ancaman TPPO

Peningkatan kasus perdagangan anak yang terungkap secara sporadis di berbagai daerah ternyata sejalan dengan data nasional yang menunjukkan tren mengkhawatirkan. 

Dalam kegiatan Sesi Kupas Data dan Fakta Hukum (SEKATA) yang digelar Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada Kamis (13/11/2025), penyuluh hukum ahli madya BPHN, Hasanudin, mengungkap 1.265 anak di Indonesia menjadi korban TPPO pada 2020–2024. 

Angka yang terus naik ini menegaskan bahwa sindikat perdagangan anak bekerja secara terorganisir dan memanfaatkan celah kerentanan sosial-ekonomi.

Dalam diskusi yang sama, Wakil Direktur TPPA-TPPO Bareskrim Polri, Enggar Pareanom, menjelaskan bahwa modus perdagangan anak kini berkembang pesat di ranah digital. 

Ia menyampaikan bahwa pelaku banyak memanfaatkan platform permainan daring sebagai sarana pendekatan dan transaksi terselubung.

Enggar menambahkan penegak hukum kini memperkuat deteksi dini hingga tingkat RT/RW, serta mendorong masyarakat untuk segera melaporkan jika menemukan indikasi perdagangan orang di lingkungan mereka.

Pentingnya peran keluarga juga disoroti dalam kegiatan tersebut. Atwirlany Ritonga, penyuluh sosial dari KemenPPPA, mengingatkan minimnya pengetahuan kadang membuat keluarga tidak sadar menjadi perantara eksploitasi anak, terutama dalam konteks pekerjaan di bawah umur. 

Dalam paparannya, ia menekankan bahwa pengawasan orang tua adalah benteng pertama, mengingat faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan masih menjadi pemicu utama anak terjerat dalam TPPO.

Melalui rangkaian upaya ini, BPHN menegaskan perlunya kesadaran publik yang lebih kuat serta kolaborasi yang melibatkan aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga masyarakat di tingkat akar rumput. 

Pengusutan kasus Bilqis terbukti memperlihatkan bahwa sindikat perdagangan anak bekerja lintas wilayah, memanfaatkan teknologi, dan bergerak dalam jaringan yang terorganisir.

Langkah bersama yang diambil Polri melalui investigasi lintas provinsi serta edukasi publik yang diperkuat oleh BPHN menjadi fondasi penting dalam upaya memutus rantai perdagangan anak di Indonesia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS