PARBOABOA, Jakarta – Dikenal sebagai sosok vokal di Gedung DPR RI, Ribka Tjiptaning bukan hanya politisi biasa.
Perjalanan hidupnya yang berliku, dari anak buruh politik yang dikucilkan hingga menjadi anggota DPR empat periode, menjadi bukti nyata bahwa tekad dan kerja keras dapat menembus sekat sosial dan sejarah kelam bangsa.
Ribka Tjiptaning Proletariyati, atau akrab disapa Ning, telah lama dikenal publik sebagai salah satu anggota DPR RI paling lantang dan berprinsip kuat.
Ia bukan sekadar wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi), tetapi simbol keberanian dalam menyuarakan keadilan sosial.
Di balik ketegasannya di parlemen, tersimpan kisah hidup yang penuh perjuangan dan kepahitan.
Lahir di Yogyakarta pada 1 Juli 1959, Ribka tumbuh dalam keluarga terdidik namun terpuruk oleh stigma politik masa lalu.
Ayahnya, seorang dokter sekaligus anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat keluarganya mengalami diskriminasi berat setelah tragedi 30 September 1965.
Nama Ribka mencuat di ranah publik setelah ia menulis buku autobiografi berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI, yang menyoroti pengalaman hidupnya sebagai anak korban stigma politik Orde Baru.
Dari Pengamen ke Dokter dan Aktivis
Dalam wawancara dengan detikJabar, Ribka mengisahkan bahwa perjalanan hidupnya jauh dari kata mudah.
Di usia tujuh tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit: hidup serba kekurangan dan terpinggirkan.
“Saya pernah jadi pengamen, kondektur bus, bahkan makan tikus di kandang sapi,” kenangnya getir. Masa remajanya dihabiskan berpindah-pindah tempat, termasuk menjadi pekerja kasar di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Namun, semangat yang diwariskan sang ibu, Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati, membuat Ribka tidak menyerah.
“Ibuku bilang, kamu tidak boleh menyerah. Kalau kau yakin dan berdoa, Tuhan pasti kasih jalan,” ujarnya penuh haru.
Dorongan itulah yang menumbuhkan tekadnya untuk melanjutkan pendidikan hingga akhirnya meraih gelar dokter dari Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Ribka sempat membuka praktik dokter di Ciledug, Tangerang, dan menjadi dokter perusahaan yang dikelola oleh Puan Maharani.
Namun, naluri aktivisnya tak bisa diam. Ia menyaksikan langsung ketimpangan sosial di masyarakat dan merasa terpanggil untuk melakukan perubahan.
“Waktu itu saya berpikir, percuma jadi dokter kalau rakyat tetap miskin dan sakit karena sistem yang tidak adil,” ungkapnya.
Meniti Jalan Politik dari Akar Rumput
Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai dari aktivitas organisasi. Ribka pernah aktif di lebih dari 11 organisasi sosial dan kepemudaan.
Ia terlibat dalam Pemuda Marhaenis, yang mengantarkannya mengenal pemikiran nasionalis Soekarno dan sosok Megawati Soekarnoputri.
“Megawati waktu itu jadi simbol perlawanan rakyat. Itu yang membuat saya yakin PDIP adalah jalan perjuangan saya,” katanya.
Perjalanan karier politik Ribka pun tak instan. Ia memulai dari tingkat ranting PDIP, kemudian naik ke DPD Jawa Barat, DPD Banten, hingga akhirnya dipercaya di DPP Partai.
Dari sana, langkahnya menuju parlemen terbuka lebar. Pada Pemilu 2004, ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Sukabumi dan berhasil lolos berkat kerja keras serta pengabdiannya lewat program pengobatan gratis untuk masyarakat.
“Dulu wilayah saya sampai 85 kecamatan di Cianjur dan Sukabumi. Saya keliling terus, buka pengobatan gratis, turun langsung ke rakyat. Alhamdulillah, dari situ saya dipercaya sampai sekarang sudah empat periode,” ujar Ribka yang kini duduk di Komisi VII DPR RI, membidangi energi, riset, dan lingkungan hidup.
Tetap Lantang Membela Rakyat
Meski sudah lama berada di parlemen, Ribka tetap dikenal sebagai figur yang tidak segan berbeda pendapat, bahkan terhadap garis partainya sendiri.
Ia beberapa kali mencuri perhatian publik karena sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.
“Saya ini wakil rakyat, bukan wakil penguasa. Kalau kebijakan tidak adil, saya harus bicara,” tegasnya.
Dari kisah masa kecil yang pahit hingga kiprahnya sebagai dokter dan politisi, Ribka Tjiptaning membuktikan bahwa asal-usul bukanlah batasan untuk berjuang.
Ia menjadi cermin bahwa kesetiaan pada nurani dan rakyat adalah nilai yang tak lekang oleh waktu.
