PARBOABOA, Jakarta - Dentuman gondang dan ogung khas Batak berpadu dengan teriakan lantang “Tutup TPL!” menggema di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (10/11/2025).
Lebih dari seribu orang dari berbagai elemen masyarakat adat, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil, tumpah ruah menuntut keadilan atas konflik agraria berkepanjangan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Namun di tengah lautan massa yang mengenakan ulos dan atribut perjuangan, pemandangan berbeda tampak mencolok.
Sejumlah tokoh berbusana jubah cokelat, surban putih, dan jas hitam berdiri sejajar di barisan depan.
Mereka adalah para pemuka agama — dari Kristen, Katolik, hingga Islam — yang turun langsung mendampingi rakyat dalam aksi moral menuntut penutupan perusahaan pulp raksasa itu.
Kehadiran para pemuka agama menjadi simbol baru perlawanan masyarakat terhadap ketimpangan agraria di Tapanuli Raya.
Di antara mereka, Pastor Walden Sitanggang OFM Cap dari JPIC Kapusin tampil berapi-api menyerukan keadilan.
“Kami datang dari berbagai daerah, dari Medan hingga Tapanuli Raya. Kami hadir untuk menyuarakan penderitaan rakyat yang lahannya direbut, hutannya dirusak, dan kehidupannya dirampas oleh TPL,” ujarnya tegas di tengah orasi.
Para pemuka agama itu tidak hanya berdiri sebagai simbol moral. Mereka ikut berorasi, membawa spanduk, dan bahkan telah lama mendampingi komunitas adat di wilayah-wilayah terdampak.
“Gereja tidak hanya ada di altar,” lanjut Walden. “Gereja ada bersama masyarakat tertindas, bersama mereka yang terpinggirkan. Negara belum sepenuhnya hadir membela mereka, maka kami melawan.”
Konflik Empat Dekade
Konflik antara masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari telah berlangsung lebih dari 40 tahun.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), perusahaan itu menguasai lahan seluas 291.263 hektare. Dari total tersebut, sekitar 33.422 hektare merupakan tanah adat milik 23 komunitas adat di 12 kabupaten.
Dalam rentang waktu itu, setidaknya 470 warga menjadi korban. Dua orang meninggal dunia, 208 mengalami penganiayaan, dan 260 lainnya dikriminalisasi. Bahkan, muncul dugaan praktik “perbudakan modern” terhadap pekerja.
Pastor Walden menegaskan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah menutup perusahaan tersebut.
“Kami tidak ingin lagi ada air mata dari para ibu, tidak ingin anak-anak menangis karena trauma, dan tidak ingin rakyat diusir dari tanah leluhur mereka,” katanya.
Selain merenggut hak masyarakat adat, PT TPL juga dituding sebagai penyebab utama kerusakan ekologi di sekitar Danau Toba. Hutan-hutan yang selama ini dijaga masyarakat adat hancur akibat ekspansi perusahaan.
Bagi masyarakat Tapanuli, tanah bukan sekadar ruang hidup, melainkan sumber penghidupan dan identitas.
“Kami ingin alam ini kembali lestari. Hutan adalah napas kami,” ujar Walden. Ia menegaskan, gerakan para pemuka agama akan terus meluas.
“Kami akan terus berjuang bersama rakyat, memperkuat solidaritas lintas iman dan elemen demi keadilan ekologis dan kemanusiaan.”
Pemerintah Dinilai Absen
Koordinator aksi, Rocky Pasaribu, menilai pemerintah provinsi belum menunjukkan keberpihakan yang nyata.
Ia menyebut, pola kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat terus berulang selama TPL beroperasi.
“Tidak ada solusi lain selain mencabut seluruh izin TPL. Kalau pemerintah sungguh berpihak pada rakyat, harus berani menutup perusahaan ini,” tegasnya.
Rocky juga menilai keterlibatan para pemuka agama memberi semangat baru bagi gerakan rakyat.
“Selama ini perjuangan kami sunyi. Kini, kehadiran mereka menjadi cahaya yang menyalakan semangat masyarakat adat dan petani korban TPL,” ujarnya.
Unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumut berlangsung panas. Massa menuntut agar Gubernur Muhammad Bobby Afif Nasution turun langsung menemui mereka. Namun, hanya Wakil Gubernur Surya yang hadir bersama Pj Sekda Sulaiman Harahap.
Surya menjelaskan bahwa Bobby tengah berada di Jakarta menghadiri penobatan pahlawan nasional dan acara ramah tamah bersama Presiden Prabowo Subianto.
“Bapak Gubernur menitipkan pesan agar aspirasi masyarakat diterima. Pertemuan dengan beliau bisa dijadwalkan kembali,” kata Surya.
Namun massa menolak tawaran itu. Mereka mendesak agar Bobby memberikan pernyataan sikap tertulis hari itu juga.
“Hubungi Gubernur sekarang! Kami tunggu jawabannya, minimal lewat pesan singkat,” seru salah satu peserta aksi. Surya pun akhirnya kembali ke dalam kantor gubernuran untuk berkoordinasi.
Demikianpun dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) terus menyerukan penutupan total operasional perusahaan tersebut serta menuntut pengembalian tanah adat yang telah lama menjadi sumber kehidupan masyarakat lokal.
Kedua organisasi ini menilai bahwa aktivitas TPL tidak hanya membawa kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat adat, tetapi juga menimbulkan bencana ekologis yang serius, diiringi dengan berbagai pelanggaran hukum dan dugaan perampasan wilayah adat sejak dekade 1980-an.
Bersama Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, mereka mendesak pemerintah agar mencabut izin perusahaan tersebut sekaligus mengembalikan hak-hak masyarakat adat di wilayah Pandumaan, Sipituhuta, Sihaporas, hingga Dolok Parmonangan.
Selain itu, AMAN dan KSPPM dengan lantang menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan tanahnya, serta menentang keras upaya pemaksaan skema kemitraan yang dianggap sebagai strategi terselubung TPL untuk terus menguasai wilayah adat.
Mereka juga menolak keterlibatan konsultan seperti Earthworm Foundation, yang dinilai mencederai prinsip profesionalitas dan mencatut nama lembaga pendamping dalam proses pelibatan para pemangku kepentingan.
Dalam pandangan keduanya, akar dari konflik panjang ini berakar pada lambannya pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang menjadikan komunitas adat terus berada dalam posisi rentan terhadap ketidakadilan hukum dan ekonomi.
Oleh karena itu, AMAN dan KSPPM terus mengupayakan dukungan dan mediasi dari berbagai pihak, termasuk melaporkan kasus ini ke Komisi XIII DPR RI dan Komnas HAM, serta mengajak partisipasi otoritas gereja Batak dan pemerintah pusat untuk mewujudkan penyelesaian yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat adat di Tano Batak.
Respons PT TPL
Menanggapi gelombang unjuk rasa, PT Toba Pulp Lestari melalui Kepala Komunikasi Salomo Sitohang menyatakan bahwa perusahaan tetap berkomitmen menjalin komunikasi terbuka dengan masyarakat.
“Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, kami selalu mengedepankan dialog dan kemitraan dengan pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat adat,” katanya dalam keterangan tertulis.
Ia juga menegaskan bahwa audit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022–2023 menyatakan PT TPL taat terhadap regulasi dan tidak melanggar aspek lingkungan maupun sosial.
“Ini misi bersama,” pungkas Pastor Walden. “Kami ingin masyarakat hidup damai di tanahnya sendiri, hutan tetap hijau, dan generasi mendatang bisa bernapas dalam keadilan.”
