Siantar Zoo: Membesar di Tangan Rahmad Shah

Rahmad Shah saat memberi makan keledai (Foto: Instagram/@rahmat_shah23)

Tulisan-5

PARBOABOA, Pematangsiantar – Ia lahir dan besar di sebuah kampung yang tak jauh dari  aliran Sungai Bah Bolon di kawasan Perdagangan, Simalungun. Waktu itu Pematangsiantar masih menjadi ibukota kabupaten mereka.

Lahir dari keluarga sederhana pasangan Hafiz H. Gulrang Shah (asal Pakistan) dan Syarifah Sobat (Medan), ia anak keenam dari 16 bersaudara. Rahmat Shah namanya. Sedari bocah ia  menyukai petualangan dan hewan-hewan langka, terlebih yang  berbisa. Seperti banyak anak lelaki pada zamannya, berburu menjadi bagian dari rekreasi sekaligus pembelajaran hidup baginya.

Pernah suatu hari Rahmat kecil mendapat seekor kelabang besar yang sangat berbisa. Mahluk itu dibawanya ke mana-mana dan diajaknya bermain. Di saku bajunya ditaruh serangga itu. Ternyata,  salah seorang pekerja di rumahnya mengetahui hal tersebut. Takut,  orang itu lantas membunuhnya.

Rahmad pun menangis sejadi-jadinya. Ia beranggapan kelabang hanyalah binatang lemah dan karena  itu tidak boleh dibunuh.

Tidak hanya mahluk berbisa buas atau yang mendapat perhatiannya. Burung juga. Setelah pindah ke Medan, ia punya kebiasaan unik. Setiap pagi, pohon-pohon di kitaran rumahnya yang  pertapakannya sekitar 2,5 hektare selalu ditempelinya  buah-buahan, mulai dari pepaya hingga pisang. Di 50 titik ditaruh, tak ayal, ribuan burung liar pun tiap ghampirinya. Pemandangan yang seru, tentu.

Kebiasaan dari  masa kecil itu kemudian membentuk insting dan menumbuhkan  kecintaannya pada  alam dan satwa. Ternyata,  itu berlanjut seumur hidupnya. Tatkala melihat  sebuah kebun binatang hampir terlupakan di Pematangsiantar, umpamanya, ia terenyuh dan turun tangan. Sejak 1996 ia mengambil alih pengelolaannya. Kala itu Abu Anifah yang menjadi walikota di sana.

Ia datang bukan karena rencana bisnis melainkan karena kepedulian terhadap satwa di tanah kelahiran.  Hasilnya? Ya, Siantar Zoo yang pesonanya masih kuat hingga sekarang.

Pebisnis

Saat remaja Rahmat Shah pernah bekerja di bengkel mobil milik keluarganya di Medan.  Pada 1965–1970 ia menjadi asisten tukang reparasi di sana.

Menjelang dewasa ia keluar dari bengkel itu. Pada 1970 ia menjadi  manajer bengkel di perusahaan milik Surya Paloh, PT Ika Diesel. Dulunya perusahaan ini distributor mobil Ford.

Sepuluh tahun berselang ia pun mendirikan PT Unitwin Indonesia. Korporasi ini bergerak di bidang perdagangan ekspor-impor, pertanian, dan properti.

Rahmat melebarkan bisnisnya dengan mendirikan PT Wiraco bersama mitranya, mantan Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Widjojo Soejono serta mantan  Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Widodo Budidarmo. Perusahaan baru ini bergerak di bidang distribusi peralatan untuk pabrik-pabrik raksasa,  termasuk PT Krakatau Steel dan  Semen Padang.

Pada 1990 Rahmat mendirikan PT Cakra Aluminium Industry yang berbasis di Singapura. Keberhasilan usaha ini membuka peluang baginya untuk menjalin kerja sama yang  lebih luas.

Di luar dunia bisnis kegiatan dia adalah mengurusi binatang. Ayah dari aktris Raline Shah ini mendirikan Rahmat International Wildlife Museum & Gallery di Medan. Saking cintanya kepada dunia binatang, ia rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk menghadirkan wahana ini. Berdiri pada 1991,  museum ini menampilkan pelbagai binatang buas yang diawetkan dengan tampilan yang menggambarkan habitat aslinya.

Saat membangun, ia hanya memikirkan bagaimana melakukan konservasi satwa sekaligus bisa memberikan wahana wisata murah sekaligus mengedukasi masyarakat. Hingga saat ini di museum yang didirikan di atas lahan sekitar 3.000 meter persegi sudah tersimpan lebih dari seribu spesies. Sebagian besar proses pengawetan koleksi satwa yang dimiliki Rahmat dilakukan di Afrika Selatan atau Kanada.

Koleksi di museumnya sebagian adalah hasil perburuannya. Konsep berburu, menurutnya,  merupakan bagian dari konservasi. Sebab jenis satwa yang diburu sudah ditentukan ukuran maupun usianya.

Berburu itu, menurutnya,  tidak selalu berarti membunuh. Di luar negeri, perburuan adalah bagian dari sistem konservasi yang terukur. Hewan-hewan yang tua dan tidak lagi mampu bertahan di alam liar sering kali dipindahkan ke penangkaran atau kebun binatang, untuk dirawat dan dilindungi.

Berkat  kegiatan perburuhannya di  berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Italia, Jerman, Turki, dan hampir seluruh wilayah Afrika, ia pun menjadi hunter bersertifikat internasional.

 

rahmad shah camar

Rahmad Shah saat berfoto dengan burung camar dan  merpati saat kunjungan ke salah-satu taman hewan di Australia (Foto: Instagram/rahmat_shah23)

Rahmad Shah merupakan putra Indonesia pertama yang menerima penghargaan International Conservation Award dan Big Five Grand Slam Award dari luar negeri.  Juga,  Big Five Grand Slam Award, Dangerous Games of Africa Award, World Hunting Award, serta penghargaan lingkungan hidup nasional dan internasional lainnya.

Sebelum menutup usia, lelaki yang pernah menjabat sebagai anggota MPR dan DPD dari Sumatera Utara ini ingin kelak seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia dapat memiliki taman hewan sendiri. Dengan begitu, anak-anak tidak cuma mencari hiburan ke mall. (Tamat)

Penulis: Novriani Tambunan  [Liputan ini Tugas Akhir di  Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS