Harga Pangan Kerap Melejit, DPR Dorong Regulasi Komoditas Strategis yang Lebih Tegas

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (tengah) dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR pada Selasa (25/11/2025) (Foto: dok. Kementan)

PARBOABOA, Jakarta - Upaya pembenahan tata kelola komoditas nasional kembali menjadi sorotan setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Komisi IV DPR menggelar rangkaian rapat bersama Kementerian Perdagangan serta Kementerian Pertanian. 

Rapat itu berlangsung di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025) dengan tujuan memastikan komoditas strategis dikelola secara terukur, berkelanjutan, dan berpihak pada petani.

Dalam rapat kerja tersebut, Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menegaskan pentingnya Rancangan Undang-Undang Komoditas Strategis sebagai instrumen memperbaiki tata kelola dan tata niaga yang kerap bocor karena tidak adanya kerangka regulasi terpadu.

“Pada hakikatnya, RUU Komoditas Strategis adalah tentang bagaimana menata tata kelola dan tata niaga. Dari kedua sisi ini akan menghasilkan nilai yang kita harapkan," ujar Bob mengutip pernyataan resmi DPR RI, Rabu (26/11/2025). 

Selama ini, kata Bob, pihaknya menemukan kebocoran akibat tata kelola dan tata niaga yang tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga tidak sesuai dengan harapan bangsa dan negara.

Ia mencontohkan persoalan singkong di Lampung yang tak kunjung selesai karena belum ada batasan jelas mengenai tata kelola, sehingga berdampak pada penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) maupun pengendalian impor. 

Karena itu, Baleg meminta masukan teknis mengenai daftar komoditas strategis, mulai dari pertanian, perkebunan, hingga peternakan agar subjek dan objek pengaturannya tidak tumpang tindih.

“Kami memerlukan kejelasan mengenai komoditas apa saja yang masuk dalam kategori tersebut. Di dalamnya ada sektor pertanian, perkebunan, bahkan peternakan. Semua subjek dan objeknya harus ditempatkan secara tegas dan tidak rancu,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso melihat penyusunan RUU ini sebagai momentum memperkuat kebijakan lintas kementerian. 

Ia memaparkan kenaikan ekspor Indonesia sebesar 8,14 persen pada Januari–September, termasuk ekspor perkebunan yang mencapai USD3,2 miliar atau naik 60,62 persen. 

Ia juga menekankan bahwa kelompok pangan seperti beras, cabai, bawang, minyak goreng, daging, dan telur merupakan komoditas yang selalu memicu inflasi sehingga layak ditempatkan sebagai komoditas strategis.

“Kelompok makanan, minuman, dan tembakau merupakan penyumbang utama inflasi. Komoditas seperti beras, cabai, bawang, minyak goreng, daging, dan telur menjadi sumber fluktuasi harga terbesar setiap tahun. Ini menegaskan mengapa komoditas pangan harus ditetapkan sebagai komoditas strategis,” jelas Budi.

Mengenai kelembagaan, ia mengusulkan agar tidak membentuk badan baru, melainkan memperkuat tugas dan fungsi kementerian yang sudah ada. Menurutnya, koordinasi teknis selama ini berjalan baik melalui mekanisme neraca komoditas.

“RUU ini sebaiknya menjadi pedoman bagi kementerian dalam mengatur hilirisasi, kebijakan ekspor, impor, dan tata kelola lainnya. Kalau kelembagaan perlu diperkuat, tinggal tusi masing-masing kementerian diperkuat,” tegasnya.

Kebijakan Berkelanjutan

Selaras dengan pembahasan RUU tersebut, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan komitmen untuk menjaga nasib petani secara berkelanjutan. Ini mencakup keberlanjutan akses pupuk subsidi, penyerapan hasil panen, hingga harga wajar bagi gabah kering panen (GKP).

“Keberpihakan kepada petani tidak berhenti pada capaian tahun ini. Program akan diperkuat secara berkelanjutan, sinkron, dan berbasis kebutuhan lapangan,” kata Amran dalam rapat bersama Komisi IV DPR, Selasa (25/11/2025).

Saat ini harga GKP dipatok Rp 6.500 per kilogram, dan pupuk subsidi mendapatkan potongan 20 persen. BPS juga memperkirakan produksi beras nasional pada 2025 mencapai 34,77 juta ton.

Anggota Komisi IV DPR, Endang Setyawati Thohari, meminta agar keberpihakan itu tidak hanya bersifat jangka pendek. Ia mengharapkan adanya perencanaan besar yang berkelanjutan.

"Ke depan kami berharap ada grand strategy agar capaian ini berkelanjutan dan tidak berubah setiap pergantian pimpinan,” katanya.

Kementerian Pertanian diketahui baru menyerap 72,4 persen dari pagu anggaran Tahun 2025 yang mencapai Rp 31,91 triliun. Rendahnya serapan salah satunya disebabkan adanya blokir anggaran sebesar Rp 8 triliun. 

Kondisi ini menjadi perhatian Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo, yang menilai bahwa anggaran harus diprioritaskan pada sektor produktif yang mampu menopang swasembada pangan, terutama di tengah ancaman anomali cuaca, alih fungsi lahan, dan minimnya regenerasi petani.

“Kami mengapresiasi serapan anggaran yang sudah mencapai 72 persen. Ini harus diteruskan dan diarahkan pada sektor produktif untuk mendukung swasembada pangan,” kata Firman.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS