Gelar Pahlawan kepada Soeharto dan Lenyapnya Ingatan Kolektif Bangsa

Pemberian gelar pahlawan kepada Mantan Presiden Soeharto dinilai sebagai simbol matinya semangat reformasi (Foto: Dok. National Geographic)

PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. 

Pengumuman itu dilakukan dalam Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional 2025 di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Penganugerahan ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. 

Selain Soeharto, terdapat sembilan tokoh lain yang juga dianugerahi gelar serupa, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Sultan Zainal Abidin Syah.

Dalam upacara yang berlangsung khidmat itu, Presiden Prabowo mengenakan setelan jas abu-abu dengan peci hitam. Setelah pembacaan keputusan, ia menyalami perwakilan keluarga para penerima gelar sebagai bentuk penghormatan atas jasa mereka.

Dalam prosesnya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan tanpa perdebatan. 

Usulan tersebut telah muncul sejak tahun 2010, ketika Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Bupati Karanganyar Rina Iriani mengajukan nama Soeharto karena dinilai berjasa besar dalam pembangunan nasional. 

Namun, pemerintah kala itu menolak dengan alasan masih adanya kontroversi atas rekam jejak Soeharto serta adanya Ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1998 yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan pejabat maupun keluarganya.

Usulan kembali mengemuka pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar tahun 2016, ketika Ketua Umum Aburizal Bakrie menilai jasa Soeharto layak dihormati sebagai pahlawan. Namun, pertimbangan yang sama kembali menghalangi pengesahan tersebut.

Gelombang baru muncul pada 2024, setelah MPR mencabut nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1998 melalui usulan Fraksi Partai Golkar. Langkah itu membuka kembali peluang bagi Soeharto untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional. 

Beberapa pekan kemudian, Bambang Sadono Center bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah resmi mengajukan nama Soeharto ke Kementerian Sosial.

Pada Maret 2025, Kementerian Sosial menyatakan telah menerima sepuluh usulan calon pahlawan nasional, salah satunya Soeharto. 

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyebut nama tersebut telah memenuhi kriteria administratif dan historis yang diperlukan. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) juga menyatakan bahwa Soeharto sudah memenuhi syarat sejak lama.

Selanjutnya, berkas pengajuan diserahkan kepada Ketua Dewan Gelar sekaligus Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menilai tidak ada bukti hukum kuat yang membuktikan keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran berat seperti peristiwa 1965–1966. 

Menurutnya, pengakuan terhadap jasa Soeharto perlu dilihat dari sisi kontribusi terhadap stabilitas dan pembangunan nasional.

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemberian gelar ini merupakan bentuk penghargaan terhadap para tokoh yang dianggap memiliki jasa luar biasa terhadap bangsa. 

Ia menegaskan bahwa keputusan ini telah melalui berbagai masukan, termasuk dari Ketua MPR dan Wakil Ketua DPR, sebelum akhirnya ditetapkan oleh Presiden Prabowo.

Gelombang Penolakan

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto memicu gelombang kritik luas dari berbagai kalangan masyarakat sipil. 

Keputusan tersebut dianggap menodai semangat reformasi yang selama dua dekade terakhir menjadi fondasi demokrasi di Indonesia.

Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai simbol matinya semangat reformasi. 

Menurutnya, reformasi yang lahir dari perjuangan rakyat memiliki tujuan utama untuk mengadili Soeharto dan kroninya, serta memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi warisan kelam Orde Baru.

Ia menegaskan bahwa Soeharto tidak pernah diadili atas dugaan kejahatan yang dilakukan selama berkuasa. Hingga kini, penegakan hukum atas praktik korupsi yang melibatkan Soeharto dan lingkar kekuasaannya tidak pernah diselesaikan. 

“Korupsi sistemik yang diwariskan Soeharto masih mengakar kuat di Indonesia. Banyak aktor bisnis dan politik yang masih terhubung dengan rezim lama,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).

Egi menilai kegagalan reformasi menegakkan keadilan bagi korban kejahatan masa lalu menjadi bukti bahwa semangat reformasi telah kehilangan maknanya. 

Menurutnya, kondisi ini memungkinkan para penguasa masa kini untuk mengulangi kejahatan serupa tanpa rasa takut akan diadili. 

“Sudah saatnya kita melampaui reformasi dan membangun pemerintahan yang benar-benar bersih dan berlandaskan prinsip hak asasi manusia,” tambahnya.

Serupa, YLBHI dalam pernyataan resminya, menyebut penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai tindakan yang mencerminkan pemerintah “nir etika, merusak hukum, dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.”

YLBHI menilai keputusan ini bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap korban pelanggaran HAM dan nilai demokrasi, tetapi juga merupakan upaya pengaburan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda. 

Menurut lembaga tersebut, gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada mereka yang berjuang demi kemerdekaan, keadilan, dan kedaulatan rakyat—bukan kepada pemimpin yang masa kekuasaannya diwarnai oleh otoritarianisme dan pelanggaran HAM.

Secara hukum dan moral, YLBHI menyebut pemberian gelar tersebut bertentangan dengan sejumlah dasar hukum penting. Di antaranya:

Pertama, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, yang mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat pada berbagai peristiwa di masa Orde Baru, seperti tragedi 1965–1966, penembakan misterius (1982–1985), peristiwa Talangsari, Rumoh Geudong, penghilangan orang secara paksa, hingga kerusuhan Mei 1998 dan tragedi Trisakti-Semanggi.

Kedua, Ketetapan MPR Nomor X dan XI Tahun 1998, yang menegaskan penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta pelanggaran terhadap keadilan dan supremasi hukum selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.

Ketiga, Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015, yang menyatakan Soeharto dan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan mengembalikan dana sekitar Rp 4,4 triliun kepada negara.

YLBHI juga menyoroti warisan ekonomi-politik Orde Baru yang masih terasa hingga kini, mulai dari monopoli pangan dan penguasaan lahan oleh yayasan keluarga Soeharto, hingga dampak sosial-ekonomi yang menimbulkan ketimpangan struktural. 

Lembaga ini menegaskan bahwa keputusan pemerintah tersebut menunjukkan arah pemerintahan yang semakin jauh dari nilai-nilai reformasi dan konstitusi.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS