Kisruh Suksesi Keraton Solo di Tengah Duka Mangkatnya Pakubuwana XIII

Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Jl. Kamandungan, Baluwarti, Kec. Ps. Kliwon, Kota Surakarta (Foto: dok. Pemerintah Surakarta)

PARBOABOA, Jakarta - Suasana duka di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berubah menjadi ketegangan setelah wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwana XIII pada Minggu (2/11/2025). 

Di tengah prosesi pemakaman di Astana Raja-Raja Mataram, Imogiri, Bantul, dua trah keturunan kerajaan tampak saling mengklaim hak atas takhta Keraton Solo. 

Putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram, menyatakan kesiapannya melanjutkan kepemimpinan sebagai Pakubuwana XIV. 

Pernyataan tersebut diucapkan di hadapan jenazah ayahandanya menjelang prosesi pemakaman, sebagai bentuk penghormatan dan simbol penerimaan tanggung jawab atas warisan leluhur.

Putri sulung mendiang raja, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbai, menegaskan bahwa keputusan untuk menunjuk Hamangkunegoro sebagai penerus takhta telah disepakati keluarga inti. 

Ia menjelaskan, penunjukan itu merupakan amanat langsung dari almarhum ayahnya sejak 27 Februari 2022, bertepatan dengan peringatan 18 tahun kenaikan takhta Pakubuwana XIII. 

Menurutnya, ikrar Hamangkunegoro di hadapan jenazah ayahanda sejalan dengan paugeran atau aturan adat keraton sebagai tradisi lama di mana sumpah di hadapan leluhur menjadi tanda kesetiaan dan kesinambungan kepemimpinan.

Namun, klaim tersebut segera mendapat bantahan dari pamannya, Kanjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, adik mendiang Pakubuwana XIII sekaligus Maha Menteri Keraton Solo. 

Ia menegaskan bahwa belum ada keputusan resmi dari keluarga besar keraton mengenai siapa yang berhak menduduki takhta.

Tedjowulan menambahkan, untuk sementara waktu dirinya memegang kendali pemerintahan keraton sebagai pelaksana tugas (ad interim) Raja Solo hingga penobatan resmi Pakubuwana XIV dilakukan. 

Ia menilai, penetapan raja baru harus melalui musyawarah keluarga besar dan disahkan sesuai ketentuan hukum maupun adat agar tidak menimbulkan perpecahan.

Di sisi lain, KGPA Tedjowulan menegaskan penunjukan raja baru tidak dapat dilakukan secara sepihak. Ia merujuk pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 430-2933 Tahun 2017 tentang Penetapan Status dan Pengelolaan Keraton Surakarta. 

Berdasarkan aturan tersebut, ia berwenang memimpin sementara dan mengumpulkan seluruh keturunan PB XII serta PB XIII untuk merumuskan suksesi bersama agar tidak menimbulkan perpecahan.

Tedjowulan menyatakan tidak keberatan jika ada pihak yang mengklaim diri sebagai calon raja, selama prosesnya mengikuti ketentuan hukum dan adat. 

Namun ia menekankan, pembahasan mengenai calon penerus takhta baru akan dilakukan setelah masa berkabung berakhir.

Melalui juru bicaranya, Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Bambang Ary Pradotonagoro, pihak Tedjowulan menjelaskan bahwa selama masa transisi, Keraton Solo akan dipimpin oleh dirinya sebagai pelaksana tugas (Plt) Raja berdasarkan SK Kemendagri 430-2933/2017. Jabatan ini bersifat sementara hingga penobatan resmi Pakubuwana XIV ditetapkan.

Bayang-Bayang Konflik Lama

Kisruh suksesi kali ini mengingatkan publik pada peristiwa serupa tahun 2004, ketika Keraton Solo mengalami dualisme kepemimpinan antara Tedjowulan dan Hangabehi (Pakubuwana XIII). 

Perselisihan itu baru berakhir delapan tahun kemudian melalui rekonsiliasi pada 2012. Juru bicara Tedjowulan, Bambang Ary, tidak menutup kemungkinan ketegangan serupa dapat terulang kembali.

Tanda-tanda perpecahan sebenarnya sudah tampak sejak Desember 2022. Kala itu, Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Solo menolak penetapan Hamangkunegoro sebagai putra mahkota. 

Penolakan tersebut didasari pada status ibunya, Kanjeng Raden Ayu Adipati Pradapaningsih (Asih Winarni), yang dianggap tidak memenuhi syarat adat sebagai permaisuri sebelum diangkat menjadi GKR Pakubuwana.

Ketua LDA, GKR Wandasari atau Gusti Moeng, menilai bahwa anak tertua Pakubuwana XIII, KGPH Mangkubumi, lebih layak menduduki takhta karena urutan kelahiran dan legitimasi adat yang lebih kuat. 

Ia menilai penetapan Hamangkunegoro bisa dianggap tidak sah menurut hukum adat maupun hukum nasional.

Sebagai bentuk penegasan sikap, LDA bahkan menggelar prosesi penggantian gelar dengan mengubah nama KGPH Mangkubumi menjadi KGPH Hangabehi, gelar yang sebelumnya digunakan oleh mendiang Pakubuwana XIII sebelum naik takhta.

Meski sempat menimbulkan ketegangan, upaya rekonsiliasi dilakukan pada awal Januari 2023. Dalam pertemuan itu, Hamangkunegoro menyampaikan harapannya agar perpecahan serupa tidak terjadi lagi dan menegaskan bahwa semua pihak telah berembuk demi menjaga kehormatan keraton.

Hingga kini, penobatan resmi Pakubuwana XIV masih menunggu hasil musyawarah keluarga besar keraton yang akan digelar setelah masa berkabung 40 hari berakhir. 

Dalam sejarah sebelumnya, proses suksesi di Keraton Surakarta bervariasi, di mana pada tahun 2004 membutuhkan waktu tiga bulan, sedangkan pada 1945 hanya memakan waktu sekitar satu bulan.

Keraton Surakarta kini kembali berdiri di persimpangan sejarah. Di tengah bayang-bayang konflik masa lalu, para bangsawan ditantang untuk menjaga keluhuran adat serta memastikan transisi kekuasaan berjalan damai, bermartabat, dan sesuai paugeran leluhur.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS