PARBOABOA, Jakarta - Penelitian terbaru Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) mengungkap temuan mengejutkan: hampir seluruh sumber air di Malang telah tercemar mikroplastik.
Dari air tanah hingga air PDAM, partikel plastik mikroskopis kini ikut mengalir dalam kehidupan masyarakat, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kesehatan dan lingkungan.
Diketahui, Tim peneliti Ecoton melakukan pengujian kualitas air di 12 titik di wilayah Malang, mencakup sumber air tanah, air permukaan, air rebusan, serta air PDAM.
Hasilnya mencengangkan: 11 dari 12 sampel air terdeteksi mengandung mikroplastik dengan jumlah bervariasi antara satu hingga tujuh partikel.
Jenis yang dominan ditemukan ialah film atau filamen serta fiber, dua bentuk mikroplastik yang umum muncul akibat degradasi limbah plastik rumah tangga.
Mikroplastik jenis filamen berasal dari pecahan kantong plastik yang terdegradasi, sedangkan fiber umumnya dilepaskan dari pakaian sintetis seperti poliester saat proses pencucian.
Partikel-partikel ini kemudian masuk ke saluran air dan pada akhirnya mencemari sumber air yang digunakan masyarakat Malang untuk kebutuhan sehari-hari.
Peneliti Ecoton, Rafika Aprlianti, dalam talkshow “Membangun Kesadaran Hukum Lewat Bencana Mikroplastik” di Universitas Widyagama Malang, menjelaskan bahwa paparan mikroplastik secara fisik dapat merusak organ vital tubuh manusia.
“Zat ini berpotensi merusak jaringan paru-paru, hati, serta sistem imun,” ujarnya di hadapan sekitar seratus mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut.
Para mahasiswa yang hadir turut berpartisipasi dalam pengambilan sampel air yang diuji Ecoton.
Selain itu, mereka juga diajak untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mulai dari botol air minum kemasan, sachet toiletries, hingga kantong kresek, sebagai langkah kecil dalam mengurangi beban pencemaran lingkungan.
Mikroplastik Menyebar di 18 Kota Indonesia
Ecoton bersama Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) juga tengah melakukan riset nasional mengenai pencemaran mikroplastik di udara dan air di 18 kota Indonesia.
Penelitian yang dilakukan pada Mei–Juli 2025 ini sengaja dilakukan pada masa peralihan menuju musim kemarau, saat curah hujan rendah dan kondisi atmosfer stabil, sehingga partikel mikroplastik di udara lebih mudah terdeteksi.
“Dengan kondisi tersebut, konsentrasi mikroplastik di udara bisa terukur lebih representatif,” jelas Rafika. Kota-kota yang diteliti meliputi Aceh Utara, Palembang, Jambi, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Denpasar, hingga Sumbawa dan Bulukumba.
Hasil sementara menunjukkan bahwa Jakarta Pusat mencatat jumlah mikroplastik tertinggi, yakni 37 partikel dalam dua jam pengambilan sampel, dengan lokasi pengambilan di Pasar Tanah Abang, Jalan Katedral Sawah Besar, dan kawasan Ragunan.
Sementara Malang menjadi daerah dengan tingkat pencemaran udara terendah, hanya dua partikel dalam dua jam.
Meski demikian, data ini menunjukkan bahwa tidak ada wilayah yang benar-benar bebas dari ancaman mikroplastik.
Di Malang, pengambilan sampel dilakukan di Dusun Lowok, Dusun Jatirejo, Kecamatan Pakisaji, serta Kelurahan Kiduldalem.
Sumber Pencemaran Kompleks
Koordinator Kampanye Ecoton, Mochammad Alaika Rahmatullah, menegaskan bahwa mikroplastik di udara bersumber dari berbagai aktivitas manusia, termasuk penggunaan plastik sekali pakai, emisi transportasi, hingga aktivitas industri dan konstruksi.
“Pencemaran mikroplastik bersifat kompleks, mencerminkan ketergantungan manusia terhadap bahan plastik,” katanya.
Alaika juga menjelaskan bahwa partikel mikroplastik berukuran sangat kecil — bahkan nanoplastik — dapat menembus sistem pernapasan hingga masuk ke aliran darah.
Partikel tersebut berpotensi menimbulkan reaksi imun, gangguan metabolisme, hingga efek neurotoksik ketika menembus sawar darah-otak.
Temuan Ecoton memperkuat urgensi penanganan mikroplastik secara menyeluruh. Diperlukan strategi komprehensif seperti pembatasan plastik sekali pakai, pengendalian emisi kendaraan, pengelolaan sampah ramah lingkungan, dan peningkatan ruang terbuka hijau.
Selain itu, edukasi publik dan sistem pemantauan berbasis riset juga perlu diperkuat agar kebijakan pengendalian berjalan efektif dan berkelanjutan.
Dosen Hukum Lingkungan Universitas Widyagama Malang, Purnawan D. Negara, mendorong Pemerintah Kota Malang segera menyusun peraturan daerah tentang pembatasan plastik sekali pakai, mengikuti jejak 22 kota/kabupaten di Jawa Timur yang telah memiliki regulasi serupa. “Membiarkan mikroplastik tanpa pengendalian berarti memupuk bencana lingkungan dan kesehatan,” tegasnya.
