UNESCO Kembali Ingatkan Indonesia Terkait Proyek Pariwisata Komodo

Proyek Pariwisata Komodo, Flores, NTT. (Foto: IG/@labuanbajoku)

PARBOABOA, Jakarta – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) kembali melayangkan peringatan keras kepada Pemerintah Indonesia terkait proyek pariwisata berskala besar di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.

Lembaga dunia yang bertanggung jawab atas penetapan Komodo sebagai Situs Warisan Dunia itu menyoroti potensi ancaman serius terhadap kelestarian kawasan konservasi yang memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV).

Peringatan terbaru UNESCO ini dirilis di situs resminya hanya beberapa hari setelah pertemuan di Golo Mori, Labuan Bajo, pada 23 Juli 2025.

Pertemuan tersebut digelar oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), salah satu pemegang konsesi bisnis di Pulau Padar dan Pulau Komodo, sebagai bagian dari proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk rencana pengembangan wisata.

UNESCO menegaskan, “tidak ada usulan pembangunan yang disetujui yang akan berdampak negatif terhadap OUV Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.”

Konsep OUV

OUV adalah istilah yang digunakan UNESCO untuk menggambarkan nilai budaya atau alam suatu situs warisan dunia yang dianggap sangat penting bagi seluruh umat manusia.

Menurut UNESCO, setiap investasi di kawasan ini harus mengedepankan prinsip pariwisata berkelanjutan demi melindungi OUV.

Namun, setelah menelaah dokumen Strategic Environmental Assessment (SEA) yang diserahkan pemerintah pada 2023, UNESCO menemukan adanya potensi dampak negatif terhadap OUV, termasuk dari layanan dan infrastruktur wisata yang direncanakan serta lima izin usaha yang sudah diterbitkan.

Selain PT KWE yang menguasai 274,13 hektare di Pulau Padar dan 151,94 hektare di Pulau Komodo, ada pula PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) dengan konsesi 22,1 hektare di Pulau Rinca, PT Sinergindo Niagatama dengan 6,49 hektare di Pulau Tatawa, serta PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara yang mengelola total 712,12 hektare di beberapa titik strategis.

Tidak ketinggalan, PT Palma Hijau Cemerlang (PHC) yang dikaitkan dengan taipan Tommy Winata juga mendapat area konsesi 5.815,3 hektare di Pulau Padar melalui kerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).

Sejumlah perusahaan ini mulai masuk sejak perubahan zonasi Taman Nasional Komodo pada 2014, ketika sebagian zona rimba diubah menjadi zona pemanfaatan.

Pada 2020, pemerintah bahkan menghapus kewajiban AMDAL bagi pembangunan sarana wisata di kawasan ini—kebijakan yang juga menjadi sorotan tajam UNESCO.

Permintaan UNESCO

UNESCO mendesak pemerintah Indonesia untuk menilai kembali semua proyek yang telah dan akan diajukan, memastikan tidak ada satu pun yang merugikan OUV.

Lembaga ini juga meminta agar setiap perubahan zonasi maupun pengembangan wisata dievaluasi dan hasilnya diserahkan ke Pusat Warisan Dunia untuk ditinjau oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Organisasi konservasi internasional itu sebelumnya, pada 2021, menaikkan status ancaman terhadap komodo dari “rentan” menjadi “terancam punah.”

Meski mengapresiasi klaim pemerintah bahwa populasi komodo stabil, UNESCO menekankan pentingnya pemantauan populasi secara berkala dan penguatan pengelolaan kelautan, termasuk regulasi ketat terhadap kapal wisata seperti liveaboard dan kapal pesiar.

Semua laporan terkait konservasi harus diserahkan paling lambat 1 Desember 2026 untuk dibahas pada sidang Komite Warisan Dunia ke-49.

Rencana PT KWE menuai perhatian khusus. Dalam presentasinya, perusahaan itu mengumumkan pembangunan pusat wisata raksasa di lahan 274,13 hektare di pesisir utara Pulau Padar—lokasi ikonik yang mencakup Pink Beach dan Long Beach.

Proyek ini meliputi 619 bangunan, termasuk 448 vila, 13 restoran, 7 spa center, 7 gym, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa, Hilltop Chateau bergaya Prancis, hingga wedding chapel.

Pengumuman ini memicu gelombang kritik publik, terlihat dari munculnya tagar #SavePulauPadar yang ramai di media sosial.

Pulau Padar, yang dikenal dengan lanskap dramatis bukit dan garis pantai berliku, merupakan pulau terbesar ketiga di Taman Nasional Komodo setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Kini, langkah UNESCO diperkirakan akan menjadi hambatan besar bagi laju proyek-proyek komersial tersebut.

Terlebih, setelah bertahun-tahun upaya serupa mendapat perlawanan kuat dari masyarakat adat dan kelompok sipil yang menuntut perlindungan penuh bagi kawasan warisan dunia ini.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS