PARBOABOA, Jakarta - Kasus dugaan perundungan yang menewaskan MH (13), siswa SMPN 19 Tangerang Selatan kembali membukakan luka lama tentang rapuhnya sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah.
Insiden ini bukan hanya tragedi personal bagi keluarga korban, tetapi menjadi cermin kegagalan pengawasan, lemahnya kultur sekolah, hingga mandeknya mekanisme pencegahan kekerasan yang selama ini hanya kuat di atas kertas.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Kurniasih Mufidayati, menyatakan bahwa insiden ini seharusnya menjadi titik balik penegasan status darurat nasional terhadap praktik perundungan.
"Ini tragedi besar. Tidak ada satupun alasan untuk membiarkan bullying terus terjadi sampai merenggut nyawa anak. Saya mendesak stop perundungan sekarang juga," ujar Kurniasih dalam keterangannya, Senin (17/11/2025)
Ia menegaskan bahwa bullying tidak boleh dipandang sebagai selisih kecil antarsiswa, melainkan bentuk kekerasan serius yang dapat menghilangkan nyawa.
Menurutnya, tidak ada alasan apa pun untuk membiarkan kekerasan semacam ini terus terjadi, apalagi hingga merenggut masa depan seorang anak.
Kurniasih juga menyoroti bahwa korban disebut-sebut telah mengalami intimidasi sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Bagi dia, hal tersebut menunjukkan betapa longgarnya pengawasan dan rapuhnya sistem perlindungan siswa yang seharusnya menjadi fondasi utama sekolah.
"Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi anak. Jika sejak awal masuk sekolah anak sudah mengalami perundungan, berarti ada kesalahan serius dalam kultur dan pengawasan. Ini tidak boleh dibiarkan," ujar Kurniasih.
Ia menekankan bahwa kegagalan melindungi siswa sejak hari pertama masuk sekolah adalah indikator adanya masalah struktural yang tidak boleh dibiarkan berlarut.
Tragedi ini, lanjutnya, harus menjadi pengingat nasional bahwa negara memiliki kewajiban memastikan sekolah bebas dari kekerasan.
MH sebelumnya diketahui meninggal dunia pada Minggu (16/11/2025), setelah menjalani perawatan intensif di RS Fatmawati.
Menurut penuturan keluarga, MH telah mengalami berbagai bentuk intimidasi sejak awal masuk sekolah, mulai dari ejekan hingga kekerasan fisik.
Puncaknya terjadi pada 20 Oktober, ketika kepala MH dihantam menggunakan kursi besi oleh teman sekelasnya. Kondisinya terus memburuk, hingga akhirnya nyawanya tidak tertolong.
Sikap Kemendikdasmen
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyampaikan bahwa penanganan kasus sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian.
Ia menjelaskan kementerian telah menugaskan Dinas Pendidikan setempat untuk melakukan pembinaan terhadap sekolah. Namun, ia menegaskan pula bahwa proses hukum menjadi ranah aparat kepolisian untuk memastikan keadilan bagi korban.
Keterangan keluarga semakin menguatkan bahwa peristiwa itu tidak muncul tiba-tiba. Rizky Fauzi, sepupu korban, mengatakan MH sempat menyembunyikan kejadian tersebut, sebelum akhirnya bercerita karena merasakan kondisi fisiknya makin memburuk.
Keluarga kemudian melapor ke sekolah dua hari setelah kejadian, dan pihak sekolah menggelar mediasi. Dalam pertemuan tersebut, keluarga terduga pelaku disebut bersedia menanggung biaya pengobatan.
Namun, bagi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus ini memperlihatkan kegagalan sistemik.
Sekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung, menilai bahwa berbagai regulasi perlindungan siswa, termasuk keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) di tingkat sekolah maupun satgas di tingkat kota dan provinsi, seperti tidak berjalan.
Menurutnya, mekanisme ini seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi potensi kekerasan, tetapi dalam kenyataannya tidak tampak fungsinya.
FSGI pun mendesak Dinas Pendidikan untuk mengevaluasi sekolah, mengingat kepala sekolah memegang tanggung jawab utama atas keselamatan warga sekolah.
Sementara itu, Polres Tangerang Selatan terus mendalami kasus tersebut. Walaupun keluarga belum membuat laporan resmi, penyidik telah membuka laporan informasi untuk memulai penyelidikan.
Polisi telah meminta keterangan dari enam siswa, termasuk beberapa guru, guna mengungkap detail peristiwa yang merenggut nyawa MH.
Kematian MH menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan. Tragedi ini menegaskan bahwa perundungan bukan sekadar masalah disiplin antarsiswa, tetapi ancaman nyata terhadap keselamatan dan masa depan anak-anak Indonesia.
Tanpa perubahan serius dalam kultur sekolah, pengawasan, dan penegakan aturan, kekerasan serupa bukan tidak mungkin kembali menelan korban.
