PARBOABOA, Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu kebijakan unggulan pemerintah kini menuai sorotan tajam.
Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat sebanyak 6.457 siswa di seluruh Indonesia menjadi korban keracunan akibat konsumsi makanan MBG sepanjang periode 6 Januari hingga 30 September 2025.
Angka ini menimbulkan kekhawatiran publik, mengingat program tersebut diluncurkan untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa.
Kasus terbaru bahkan terjadi di Pasar Rebo, Jakarta Timur, serta Kabupaten Kadungora, Garut. Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025), Kepala BGN, Dadan, menjelaskan bahwa insiden di Kadungora terjadi karena adanya distribusi makanan yang tidak sesuai standar.
“Kejadian di Kadungora merupakan kejadian yang tidak terduga. Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) membagikan makanan yang salah satunya berupa susu, dan itu memicu gangguan pencernaan,” ungkap Dadan.
Menariknya, Dadan enggan menggunakan istilah “keracunan”, dan lebih memilih menyebut kasus-kasus tersebut sebagai “gangguan pencernaan”. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda.
Dalam kasus di Kadungora, tiga siswa harus dirujuk ke RSUD dr Slamet Garut, bahkan salah satunya masih berusia balita. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa persoalan MBG bukan sekadar gangguan pencernaan ringan, melainkan benar-benar kasus keracunan massal.
BGN menilai tren kasus semakin meningkat dalam dua bulan terakhir. Setelah dilakukan penelusuran, penyebab utamanya adalah ketidakpatuhan SPPG terhadap standar operasional prosedur (SOP).
Dadan mencontohkan adanya pembelian bahan baku yang dilakukan dua hingga empat hari sebelum proses memasak, serta distribusi makanan yang melebihi batas aman.
“Dari proses memasak hingga pengiriman seharusnya tidak boleh lebih dari enam jam, optimalnya empat jam. Tapi dalam kasus Bandung Barat, SPPG mulai memasak sejak pukul 21.00 malam, dan makanan baru dibagikan 12 jam kemudian,” paparnya.
Akibat pelanggaran SOP tersebut, BGN memberikan sanksi berupa penutupan sementara terhadap beberapa SPPG yang dianggap lalai.
Penutupan itu tidak ditentukan batas waktunya, melainkan menunggu hingga SPPG yang bersangkutan melakukan perbaikan sistem distribusi dan manajemen makanan, sekaligus hasil investigasi resmi keluar. “Penutupan sementara ini juga diikuti dengan upaya mitigasi trauma bagi siswa penerima manfaat,” ujar Dadan.
Kondisi ini memantik reaksi keras dari Komisi IX DPR RI. Para legislator menilai pemerintah tidak boleh abai terhadap aspek keamanan pangan dalam program MBG yang menyangkut kesehatan anak-anak.
DPR mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap manajemen distribusi, termasuk transparansi pemasok bahan baku.
Beberapa anggota dewan bahkan menyinggung soal risiko politik apabila program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini justru menimbulkan korban.
Sementara itu, pihak pemerintah melalui Presiden Prabowo merespons dengan menekankan bahwa program MBG tidak akan dihentikan, namun akan diperbaiki secara sistematis.
Ia mengakui adanya kelemahan dalam pengawasan teknis dan berjanji akan memperkuat regulasi serta mekanisme kontrol kualitas.
“Anak-anak kita tidak boleh menjadi korban. Program MBG adalah investasi masa depan bangsa, tapi keselamatan mereka adalah yang utama,” ujar Prabowo dalam pernyataan resmi usai rapat kabinet terbatas.
Benang merah dari rangkaian kasus ini menunjukkan bahwa masalah bukan terletak pada konsep program MBG, melainkan pada lemahnya implementasi di lapangan.
Standar pengolahan hingga distribusi yang diabaikan menyebabkan ribuan anak mengalami keracunan.
Kini bola panas ada di tangan pemerintah: memperbaiki tata kelola program agar sesuai harapan, atau menghadapi risiko kehilangan kepercayaan publik terhadap salah satu program prioritas nasional.