PARBOABOA, Pematangsiantar – Keahliannya? Membaca dan mengartikan tulisan Batak yang tertera di kitab kuno berbahankan kulit kayu [laklak] atau di tulang.
Langka orang yang memiliki kemampuan yang demikian. Apalagi jika ditambah dengan atribut: sudah membaca 500-an manuskrip seperti itu.
Selain itu, ia juga menguasai tata bahasa Batak Toba dan berpengetahuan luas tentang jagat budaya puak tersebut. Seperti kamus berjalan saja dia di lapangan ke-Batak-an ini. Wajarlah kalau ia acap ditanggap di sana-sini sebagai konsultan, pengajar, peneliti, dan yang lain. Ke sebuah kota di Jerman (kalau tak sala: Koeln), misalnya, ia pernah diundang hanya untuk menata letak koleksi buku laklak.
Manguji Nababan, namanya. Pegiat budaya dan sastra ini tadi pagi bertolak dari Medan ke ruang kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) di Jalan Toba, Pematangsiantar. Memang bersahaja, naik bus saja dia.
“Saya agak terlambat karena busnya lewat Tebing Tinggi dulu. Maaf, ya,” ucapnya sebaik kami bermuka-muka di lantai satu (dari dua lantai). Kelas pagi bermaterikan critical thinking jilid satu baru saja kuakhiri dan peserta akan rehat.
Dari Medan sebenarnya sudah ada jalan tol sampai ke Sinaksak, Siantar. Namun, kendaraan umum adakalanya masuk Tebing dulu. Memang, itulah risikonya mengandalkan angkutan rakyat.
Asing
Seperti yang kuminta dua minggu sebelumnya, materi yang akan dibawakannya ihwal budaya Nusantara yang kian diabaikan kaum muda Indonesia.
“Kalian bebas mau memanggil saya dengan sebutan apa. Bro, boleh. Abang boleh. Asal jangan ‘bapak’. Soalnya itu akan membuat kita berjarak,” katanya saat akan memulai sesi. Senyumnya mengembang.
Ucapan itu ternyata efektif. Keakraban cepat terbangun. Apalagi, ia juga tidak duduk melainkan mendekat sembari berdiri di dekat para peserta
Lulusan Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara (USU) yang sehari-harinya bertekun sebagai Kepala Batakologi Universitas HKBP Nommensen, Medan, memulai paparan dengan menjelaskan betapa kayanya sesungguhnya budaya Nusantara.
Data diperlihatkannya di layar: 4.521 tradisi lisan, 7.444 pengetahuan tradisional, 3.800 permainan rakyat, 8.224 bentuk kesenian, 66.946 cagar budaya, 23.989 warisan budaya tak benda (WBTB), 21.406 institusi budaya, dan 19.113 infrastruktur budaya. Pula, 359 kabupaten/kotamadya dan 34 provinsi yang sudah menyusun dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).
Kekayaan budaya Batak juga ditunjukkannya lewat data. Manuskrip, adat istiadat, seni, bahasa, ritus, permainan rakyat, teknologi tradisional, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, dan tradisi lisan tersebut memang berlimpah.
“Sayang saja kaum muda kita sangat sedikit yang menyadari kekayaan luar biasa ini. Bagaimana akan bangga kalau merasa asing? Kalian pun termasuk yang lebih akrab dengan budaya K-pop dibanding budaya Nusantara,” gugatnya. “Orang Batak termasuk yang mengalami krisis identitas budaya.”
Para peserta tertawa
Saat ini, menurut murid yang kemudian menjadi mitra kerja linguis terkemuka Prof. Uli Kozok tersebut ada empat tipe generasi muda Batak yakni yang: (1) masih mengenal, memahami dan mempraktikkan adat dan budaya Batak, (2) menyadari dirinya sebagai orang Batak tetapi tidak lagi memahami dan mempraktikkan adat dan budaya Batak, (3) tidak lagi mengaku, mengenal, menganggap atau menyadari dirinya sebagai orang Batak, dan (4) keturunan Batak Diaspora yang hanya “berdarah Batak namun tidak lagi menampilkan identitas kultur Batak. Yang terakhir ini hasil perkawinan campur Batak–non Batak.
Kelompok 2, 3, dan 4 ini tak patut dipersalahkan sepenuhnya, menurut dia, sebab sikap mereka itu merupakan ekses semata. Atmosfir yang tak sehatlah penyebabnya. Persisnya? Anggapan bahwa budaya lokal itu jadul, tidak keren, dan tidak relevan. Berbahasa daerah itu kolot dan tidak fungsional.
Sebab lain masih ada. Representasi budaya lokal sangat sedikit di media popular yang berbasis digital. Kurikulum sekolah kurang aplikatif dan inspiratif. Orang tua dan guru tidak menghidupkan budaya lokal dalam keseharian. Kurang ruang ekspresi budaya yang modern dan kreatif.
“Jadi, penyebabnya tidak satu melainkan banyak.”
Jalan Keluar
Manguji Nababan tak hanya pandai mengurai benang masalah tapi juga piawai mencarikan jalan keluar. Ya, dia memang bukan cuma pemikir tapi juga orang lapangan yang kaya pengalaman.
Gagasannya? Kenalkan budaya Nusantara ke kaum muda secara kreatif, termasuk dengan memanfaatkan piranti dan jurus-jurus kekinian. Media sosial, influencer, komunitas, korporasi, dan para penentu kebijakan di lingkup birokrasi mesti didayagunakan.
Sesungguhnya, beberapa peserta masih ingin bertanya. Namun, waktu rupanya sudah tiga jam berlalu. Sementara Batakolog penting Manguji Nababan harus segera kembali ke Medan sebab ada tugas lain yang menunggu.
Kami semua lantas berfoto sebelum berpisah.
Seperti hari-hari sebelumnya, seusai kelas kuminta para peserta membuat catatan tentang penampilan Bang Manguji Nababan barusan. Waktunya 30 menit saja.
Saat tulisan dibacakan bergantian, aku mencatat poin-poin pentingnya. Isinya? Dari 10 peserta, beberapa mengatakan merasa sangat tercerahkan. Bukan cuma itu: kini menjadi bangga dengan etnisitasnya. Peserta yang dari Payakumbuh, Dila, termasuk yang berkata demikian.
Waktu yang terlalu pendek untuk paparan yang semenarik dan sepenting itu, masuk juga dalam catatan mereka. Diriku sepakat. Pemateri bagus memang perlu diberi tambahan tempo kalau saja mungkin. Sebaliknya berlaku.
Editor: Rin Hindryati