PARBABOA, Jakarta - Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam sektor energi. Kebutuhan listrik nasional yang terus meningkat menjadi masalah utama yang perlu segera diatasi.
Laporan yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Maret 2025, misalnya menunjukkan rantai pasok pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) masih sangat bergantung pada China.
Dalam konteks inilah, dorongan untuk pembangunan ekosistem energi terbarukan sebagai bagian dari strategi menuju swasembada energi menjadi penting.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa untuk mewujudkan kemandirian energi, Indonesia "perlu membangun fasilitas pembangkit listrik yang mampu menghasilkan setidaknya 100 gigawatt."
Hal tersebut disampaikannya saat meresmikan peletakan batu pertama megaproyek ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi di Karawang, Jawa Barat pada Minggu (29/6/2025).
Proyek yang saat ini tengah dikembangkan diperkirakan akan menghasilkan daya listrik sebesar 15 gigawatt. Namun, angka tersebut masih jauh dari kebutuhan ideal.
Berdasarkan laporan para pakar energi disebutkan "perlunya meningkatkan kapasitas produksi listrik secara signifikan agar bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang energi."
Menurut Prabowo, bila proyek yang saat ini dibangun bisa menghasilkan 15 gigawatt, maka skala proyek serupa harus dikalikan beberapa kali lipat untuk mencapai target nasional.
Ia menilai ideal ini bukanlah hal mustahil, mengingat semangat swasembada energi sudah lama tertanam dalam sejarah bangsa.
Cita-cita tersebut, katanya, pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno dan dilanjutkan oleh para pemimpin berikutnya.
Presiden Joko Widodo disebut sebagai salah satu "pemimpin yang paling konsisten dalam menerjemahkan semangat itu menjadi kebijakan konkret, khususnya melalui program hilirisasi energi."
Megaproyek baterai listrik pun merupakan gagasan yang mulai dirancang sejak empat tahun lalu di masa pemerintahan Jokowi.
Selain sebagai simbol transformasi energi, proyek ini juga menyimpan dimensi ekonomi yang besar. Prabowo menyebut bahwa pengelolaan sumber daya alam yang efektif menjadi fondasi utama bagi kemakmuran bangsa.
Ia menekankan pentingnya mengubah kekayaan alam menjadi produk yang bernilai guna tinggi agar rakyat bisa hidup lebih sejahtera.
Pemerintah menargetkan bahwa proyek ekosistem baterai kendaraan listrik dapat menjadi salah satu langkah konkret menuju kemandirian energi nasional.
Jika berhasil, proyek ini diperkirakan dapat menghemat hingga 58 miliar dolar AS setiap tahun dari pengurangan subsidi bahan bakar dan listrik, serta pemangkasan impor energi dari luar negeri.
Adapun nilai investasi dalam proyek ini mencapai sekitar 5,9 miliar dolar AS, dan setelah rampung, potensi pendapatannya ditaksir mencapai 48 miliar dolar AS.
Proyek tersebut merupakan hasil kerja sama antara PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), Indonesia Battery Corporation (IBC), dan konsorsium internasional CATL, Brunp, serta Lygend (CBL).
Secara keseluruhan, megaproyek energi listrik dikembangkan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Total ada enam sub-proyek, lima di antaranya berada di Halmahera Timur, Maluku Utara, dan satu di Karawang, Jawa Barat.
Proyek ini tidak hanya diharapkan menjadi pilar penting untuk energi masa depan Indonesia, tetapi juga simbol kemandirian nasional dalam menghadapi transisi energi global.
Dengan pembangunan ekosistem listrik, Indonesia tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga menyiapkan fondasi yang lebih berkelanjutan untuk menghadapi era pasca-bahan bakar fosil.
Tiga Kendala
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam sebuah keterangan pada Desember 2024 lalu mengidentifikasi tiga kendala utama pertumbuhan sektor pengembangan energi listrik.
Pertama, proses pelelangan PLN tidak konsisten dan cenderung tertutup. Lemahnya kapasitas PLN dalam melaksanakan proses pelelangan proyek energi terbarukan disebut sebagai salah satu kendala utama.
Fabby menilai proses tersebut tidak dilakukan secara rutin dan seringkali lebih mengutamakan anak perusahaan PLN. Sayangnya, banyak anak usaha ini tidak memiliki kekuatan finansial yang cukup sehingga harus mencari mitra modal.
Model seperti ini justru dinilai berisiko tinggi dan memicu penurunan minat investor. Akibatnya, pengembangan energi terbarukan berjalan lambat.
Sejak tahun 2021, peningkatan kapasitas pembangkit energi bersih jauh dari proyeksi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang menargetkan penambahan hingga 10,5 gigawatt.
Kedua, skema tarif tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi. Masalah kedua terletak pada struktur tarif energi terbarukan yang masih merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.
Menurut Fabby, skema tarif dalam regulasi tersebut didasarkan pada kondisi ekonomi tahun 2019–2020 yang sudah tidak mencerminkan situasi terkini. Lonjakan suku bunga dan kenaikan biaya proyek membuat tarif tersebut menjadi tidak menarik bagi investor.
Fabby menambahkan, dengan kondisi saat ini, tingkat pengembalian investasi yang diharapkan investor, yakni antara 10 hingga 12 persen tidak bisa dicapai dengan tarif yang berlaku.
Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah segera meninjau ulang struktur tarif, terutama bagi proyek-proyek kecil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas di bawah 10 MW.
Skema tarif yang tidak mencerminkan risiko dan kebutuhan proyek semacam ini dinilai menjadi penghalang dalam mendapatkan pembiayaan.
Ketiga, terbatasnya kapasitas finansial pengembang lokal. Kendala ketiga menyangkut kondisi finansial pengembang lokal yang semakin tertekan.
Fabby menjelaskan bahwa tingginya suku bunga, pelemahan nilai tukar rupiah, serta sulitnya akses terhadap pendanaan memperburuk posisi pengembang dalam negeri.
Ketidakstabilan ekonomi global memperbesar beban mereka, sehingga memperkecil peluang untuk berperan lebih aktif dalam proyek-proyek energi terbarukan.
Untuk mengatasi situasi ini, ia mengusulkan agar pemerintah menyediakan fasilitas pembiayaan yang mendukung keberlangsungan pengembang lokal. Di saat yang sama, upaya untuk menarik lebih banyak investasi asing juga perlu ditingkatkan.
Namun demikian, daya saing investasi Indonesia dinilai masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Faktor regulasi yang belum optimal, proses birokrasi yang berbelit, dan kepastian hukum yang rendah disebut turut memperburuk iklim investasi di sektor energi bersih.
Fabby menegaskan pentingnya langkah nyata dari pemerintah untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Menurutnya, peningkatan kapasitas dan konsistensi pelelangan di tubuh PLN, penyesuaian tarif yang relevan dengan kondisi ekonomi, serta reformasi regulasi yang mampu memperkuat iklim investasi harus segera dilakukan.
Tanpa adanya terobosan kebijakan dan perbaikan sistemik, target pengembangan energi terbarukan yang telah ditetapkan dalam rencana nasional dipastikan akan sulit tercapai pada 2025 mendatang.