PARBOABOA, Jakarta - Seniman dan perupa Moelyono (68) kembali menggelar sebuah pameran tunggalnya bertajuk "Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa" di Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta.
Pameran ini dimulai sejak Kamis (10/7/2025) malam dan menjadi momentum istimewa karena menandai kembalinya kiprah sang seniman setelah sekian lama vakum karena kondisi kesehatan.
Dalam kurun waktu tersebut, Moelyono tidak hanya konsisten menghasilkan karya-karya baru, tetapi juga menempuh perjalanan pemulihan dari sakit serius.
Kini, ia kembali dengan semangat yang menyala dan karya-karya yang lebih mendalam serempak menegaskan visinya akan seni sebagai kekuatan penyadaran sosial.
Sejak dekade 1980-an, Moelyono dikenal bukan hanya sebagai perupa, tetapi juga pendidik rakyat. Ia mengembangkan gerakan Seni Rupa Partisipatoris dengan mendampingi masyarakat pedesaan, terutama anak-anak dan kelompok marginal.
Proses ini dimaksudkan agar masyarakat mampu mengekspresikan pengalaman hidup mereka melalui gambar dan narasi. Baginya, seni bukan sekadar objek indah, melainkan alat untuk membangkitkan kesadaran dan membangun keberdayaan rakyat.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi, dalam pembukaan pameran pada Kamis malam, menyebut Moelyono sebagai "sosok seniman yang konsisten."
Ia menyoroti dedikasi Moelyono yang telah tinggal dan berkarya bersama kelompok ludruk di Jombang selama lebih dari delapan tahun. Hal ini dinilai sebagai bentuk komitmen yang tidak lazim bagi seniman pada umumnya.
Pameran kali ini menempatkan ludruk sebagai pusat inspirasi. Bagi Moelyono, ludruk bukan sekadar pertunjukan panggung khas Jawa Timur, melainkan cerminan pemikiran rakyat dan ruang kritik sosial.
Kurator pameran, Frans Sartono, pada kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa bagi Moelyono, "ludruk adalah bentuk seni yang menyatu dengan kehidupan rakyat, bukan hanya tontonan."
Moelyono mulai mendalami ludruk sejak 2017. Dalam keterangannya, ia menyampaikan bahwa semula ia terbiasa membuat karya protes yang serius dan frontal.
Namun sejak mengenal ludruk, ia menemukan pendekatan baru dengan menyisipkan banyolan dalam keseriusan sebagai cara menyampaikan kritik sosial tanpa kehilangan ketajaman.
Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah adaptasi dari lakon ludruk "Geger Pabrik Gula Gempol Kerep", yang mengisahkan perjuangan buruh tebu melawan ketidakadilan kolonial.
Lewat lukisan tersebut, gestur visual Moelyono menampilkan ironi yang tajam, pemberontakan yang getir, serta kritik sosial yang membekas.
Kurator sekaligus penulis, Efix Mulyadi, pada pembukaan pameran menerangkan bahwa "semangat perlawanan tidak hanya terpancar dalam karya, tetapi juga dalam sosok Moelyono sendiri."
Hal senada disampaikan oleh kolektor seni Syakieb Sungkar. Menurutnya, "karya-karya Moelyono sarat akan simbol yang memerlukan renungan dalam memaknainya."
Ia menambahkan bahwa seni seharusnya mampu mengguncang kesadaran masyarakat dan membenturkannya dengan kenyataan sosial seperti dominasi kapitalisme.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap akar kultural karyanya, pembukaan pameran juga dimeriahkan oleh penampilan kelompok Ludruk Budhi Wijaya asal Jombang.
Kehadiran mereka menghidupkan konteks ruang nyata tempat karya-karya Moelyono tumbuh, bukan dari angan-angan, melainkan dari denyut kehidupan rakyat.
Ilham Khoiri, General Manager Bentara Budaya dan Kompas Gramedia Communication Management, menyebut bahwa pameran ini merupakan bukti ketangguhan Moelyono dalam menghadapi hidup.
Menurutnya, "lukisan-lukisan Moelyono menunjukkan semangat yang lahir dari pergulatan panjang, termasuk upayanya menafsir ulang karya Raden Saleh dengan sentuhan kontemporer."
Rangkaian pameran dilanjutkan pada Jumat (11/07/2025) dengan diskusi budaya bertajuk "Moelyono, Ludruk, dan Perlawanan Rakyat Pedesaan."
Diskusi ini menghadirkan tokoh-tokoh seperti Romo Sindhunata, Seno Joko Suyono, Rifda Amalia, Ketua Ludruk Budhi Wijaya Didik Purwanto, dan Moelyono sendiri, dengan moderator Ilham Khoiri.
Acara dibuka dengan pertunjukan fragmen "Geger Pabrik Gula Gempol Kerep" yang menghadirkan kembali memori kolektif tentang sejarah perlawanan rakyat yang hingga kini masih relevan.
Pameran ini terbuka untuk publik tanpa biaya masuk dan dapat dikunjungi setiap hari pukul 10.00–18.00 WIB di Bentara Budaya Jakarta.
Spirit Kerakyatan
General Manager Bentara Budaya, Ilham Khoiri dalam sebuah ulasan di website Bentara Budaya, Jumat (4/7/2025) menyebut ludruk bagi Moelyono bukan sekadar seni pertunjukan, tapi wahana perlawanan.
Khoiri menerangkan bahwa banyak lakon dalam karya Moelyono menampilkan resistensi rakyat terhadap kekuasaan yang menindas, seperti “Geger Pabrik Gula”, “Sakerah”, dan “Sarip Tambak Oso”.
"Ketiga kisah itu menghadirkan semangat pemberontakan rakyat kecil terhadap dominasi kolonial," tulisnya.
Nuansa kritis juga tertuang dalam pantun khas ludruk (parikan) seperti yang dilontarkan tokoh legendaris Cak Durasim: “Pagupon omahe doro, melok Nippon tambah soro.” Ungkapan ini bermakna sindiran tajam terhadap kolaborasi dengan penjajah Jepang kala itu.
Semangat yang sama pun hidup dalam keseharian para pelakon ludruk. Di luar panggung, mereka bekerja sebagai pedagang, pemilik warung, buruh, atau petani. Namun saat mendapat undangan pentas, mereka bersatu dalam semangat kolektif untuk menghidupkan lakon.
Tidak hanya dalam lakon, nilai-nilai egaliter terasa dalam interaksi antarpemain. Guyonan yang dilempar bebas tanpa hierarki, ejekan penuh tawa yang justru memperkuat rasa kebersamaan, hingga keterbukaan terhadap identitas gender yang beragam.
Pada sesi remo—tari pembuka dalam ludruk—penari pria yang berdandan kemayu menjadi simbol keluwesan dalam merayakan keberagaman.
Sisi artistik ludruk pun memikat Moelyono. Dalam beberapa adegan, aktor mengenakan kostum menyerupai hewan seperti kuda atau harimau, tetapi tetap memperlihatkan kaki manusia. Unsur teatrikal ini ditafsirkan ulang ke dalam karya visual.
“Bentuk hewan jadi salah satu artistik visual ludruk yang unik. Visual ini saya tangkap dan gambar sebagai lukisan,” katanya.
Semangat dan estetika ludruk itu kemudian ia tuangkan dalam lukisan dan gambar. Gaya realis yang dipilih membuat karyanya mudah dicerna publik. Tokoh-tokoh ludruk hadir sebagai figur hidup dalam adegan-adegan dramatis.
Lukisan bertajuk Geger Pabrik Gula misalnya, menampilkan perlawanan petani terhadap sinder yang hendak merampas tanah. Di tengah ketegangan itu, terselip sosok yang tengah merias wajah sebagai simbol narasi personal di antara konflik struktural.
Selanjutnya, dalam karya Para Mandor Kontrol Kebun Tebu, Moelyono menggambarkan para mandor berpakaian serba putih menunggang kuda ala pertunjukan ludruk di mana kaki manusia tetap dibiarkan telanjang. Referensi visual dari ludruk dipinjam untuk memperkaya representasi.
Selain menyerap idiom ludruk, Moelyono juga melakukan apropriasi terhadap karya-karya klasik Raden Saleh. Ia tidak hanya mengadopsi gaya romantik khas sang maestro, tetapi juga memberi konteks baru pada karya tersebut.
Lihat saja lukisan "Raden Saleh Berburu Singa". Atau lukisan "Raden Saleh dan Rubens Berburu", di mana wajah Paul Rubens dan Raden Saleh muncul di tengah kekacauan perburuan singa.
Kombinasi antara gaya visual ludruk dan apropriasi Raden Saleh menunjukkan kecenderungan Moelyono untuk bersikap eklektik. Ia menggabungkan berbagai pendekatan artistik dari era berbeda, tetapi tetap dalam bingkai pemaknaan baru.
Selain lukisan dan gambar, turut dipajang instalasi dari properti ludruk dan gamelan. Rencananya, karya keramik dari Jatiwangi Art Factory (JAF) yang menginterpretasikan lukisan Moelyono ke dalam bentuk gerabah juga ditampilkan, meski terkendala teknis.
Pameran ini, tulis Khoiri, menegaskan bahwa Moelyono tak pernah berhenti menjadikan seni rupa sebagai alat penyadaran. "Ia mengolah idiom-idiom artistik menjadi bahasa visual yang segar dan relevan."
"Ini bukan sekadar perayaan seni, melainkan pernyataan bahwa seni bisa tumbuh dari rakyat, berbicara untuk rakyat, dan berpihak pada rakyat," tegasnya.