Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Balik Tembok Panti Rehabilitasi

Suasana pertemuan antara Komisi XIII DPR RI dengan Perhimpunan Jiwa Sehat di Gedung DPR RI, Senin (14/7/2025). (Foto: dok. LPM Progress)

PARBOABOA, Jakarta - Masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap penyintas disabilitas mental di Indonesia kembali menjadi sorotan. 

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Jenny Rosada Mayanti, mengungkapkan bahwa sekitar 13.000 orang hidup dalam kondisi terkurung dan mengalami penyiksaan, baik fisik maupun psikis. 

Angka ini merupakan hasil temuan dari kunjungan langsung ke panti-panti milik pemerintah dan swasta selama beberapa waktu terakhir.

Yeni menyatakan bahwa jumlah tersebut sangat mungkin lebih besar karena hingga kini tidak ada sistem pendataan resmi dari pemerintah. Ia memperkirakan total korban bisa mencapai lebih dari 20.000 orang.

Kondisi di dalam panti, terutama yang berada di bawah pengawasan Kementerian Sosial (Kemensos), dinilai lebih buruk daripada lembaga pemasyarakatan. 

Ia menjelaskan bahwa mereka yang dimasukkan ke panti tidak melalui proses hukum apa pun dan tidak mendapat perlindungan hukum yang layak. 

Tidak adanya aturan dan pengawasan membuat tindakan kekerasan seperti pemukulan, pencukuran paksa, hingga pemasungan terjadi tanpa batas.

Lebih dari itu, Yeni menyoroti kondisi sebagian penghuni panti bisa ditahan selama bertahun-tahun, bahkan hingga lebih dari satu dekade, tanpa dasar hukum atau evaluasi berkala. 

Ia menyebut hal ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, karena praktik semacam itu setara dengan penahanan sewenang-wenang di luar sistem peradilan.

Upaya membawa kasus-kasus ini ke jalur hukum pun bukan tanpa tantangan. Yeni mengaku pernah mengadukan kasus serupa kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta dan LPSK. 

Namun saat proses penyelidikan berjalan, muncul tekanan dan intimidasi terhadap penghuni panti, yang membuat mereka takut melanjutkan proses hukum.

Tanggapan DP

Komisi XIII DPR RI menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sejumlah panti sosial yang menampung penyandang disabilitas mental. 

Ketua Komisi XIII, Willy Aditya, menyoroti masih maraknya praktik kekerasan, pemasungan, dan pengurungan yang dianggap sebagai metode rehabilitasi, padahal telah lama ditinggalkan oleh pendekatan medis dan sosial modern.

“Ini bukan lagi sekadar isu, tapi kenyataan yang masih berlangsung,” kata Willy mengutip laporan JDIH DPR RI, Senin (14/7/2025).

Ia menilai bahwa akar masalah dari kondisi tersebut adalah buruknya manajemen dan lemahnya pengawasan dari lembaga terkait. 

Untuk itu, Komisi XIII akan mendorong terbentuknya rapat gabungan lintas kementerian guna menyusun kebijakan yang terpadu dan tepat sasaran.

“Selama ini semua instansi saling melempar tanggung jawab. Tidak ada pihak yang benar-benar mengambil alih penyelesaian masalah ini. Kami akan mengundang Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan untuk duduk bersama mencari solusi,” tegasnya.

Sebagai langkah awal, Komisi XIII juga akan mengirim surat kepada komisi-komisi lain yang bermitra dengan kementerian terkait, agar ada sinergi dalam mendorong perubahan sistemik. 

Willy memastikan, seluruh masukan dan temuan dalam pertemuan ini akan dibawa ke pembahasan dalam rapat gabungan tersebut.

“Selama ini kita sering membicarakan pentingnya rehabilitasi, tapi justru panti-panti sosial menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan dilukai,” ujarnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS