PARBOABOA, Jakarta - Ribuan massa kembali memenuhi kawasan depan Gedung DPR RI, Jakarta pada Senin (25/8/2025) pagi. Mereka menggelar aksi bertajuk #BubarkanDPR.
Gelombang demonstrasi ini dipelopori oleh mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) bersama sejumlah pelajar, yang menilai lembaga legislatif gagal menjalankan mandat konstitusi.
Dalam siaran persnya, BEM Unindra menyebut DPR telah berulang kali melahirkan kebijakan yang justru merugikan masyarakat luas, serempak menguntungkan internalnya sendiri.
“Di tengah kesengsaraan rakyat, DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan publik, sementara berbagai undang-undang pro rakyat yang mendesak justru diabaikan,” ungkap perwakilan masa aksi.
Massa menyoroti sederet regulasi kontroversial seperti UU TNI yang dianggap mengancam supremasi sipil, serta rencana pengesahan RUU Polri, RUU Penyiaran, RUU KUHAP, dan RUU Agraria.
Sebaliknya, mereka menuding sejumlah tuntutan penting dibiarkan menggantung tanpa kejelasan, antara lain RUU Perampasan Aset, RUU PPRT, serta kebijakan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis.
Tak hanya itu, peserta aksi juga menolak upaya penulisan ulang sejarah, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, hingga perjanjian dagang Indonesia dan Amerika Serikat yang dinilai merugikan kedaulatan ekonomi.
Mereka menuntut penghentian kriminalisasi terhadap gerakan rakyat serta pembebasan 11 warga Maba Sangadji yang masih ditahan.
Puncaknya, massa merumuskan "Resolusi #BubarkanDPR" dengan dua tuntutan utama, yakni meminta MPR melakukan amandemen untuk merestrukturisasi DPR agar kembali benar-benar merepresentasikan rakyat.
Mereka juga menuntut penghapusan tunjangan DPR sebagai bentuk perlawanan terhadap pemborosan anggaran dan privilese pejabat.
Aksi ini tak berlangsung damai. Aparat kepolisian memukul mundur massa di depan Gerbang Pancasila sehingga terjadi bentrokan yang memecah konsentrasi peserta aksi menjadi dua kelompok.
Berdasarkan kronologi yang dihimpun, sejumlah massa dikabarkan terluka. Selain itu, jurnalis foto Antara, Bayu Pratama S, turut menjadi korban pemukulan ketika meliput jalannya demonstrasi.
Padahal, Bayu telah mengenakan atribut resmi seperti helm dan kartu pers. Saat mencoba menepi, ia tetap mendapat pukulan pentungan yang merusak kameranya serta menimbulkan luka di lengan dan tangan.
Desakan AJI
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menegaskan bahwa kekerasan semacam ini bukan kasus tunggal.
Sepanjang Juni 2024–Juni 2025, mereka mencatat lebih dari 20 kasus serupa di Jakarta, dengan total 52 kasus di tingkat nasional.
Sebagian besar terjadi saat jurnalis meliput demonstrasi, mulai dari aksi May Day hingga penolakan RUU TNI.
Menurut AJI, tindakan aparat jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (3) menjamin tidak adanya penyensoran maupun pelarangan terhadap pers nasional.
Sementara itu, Pasal 18 ayat (1) menyebut pelaku kekerasan terhadap jurnalis dapat dipidana hingga dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Ketua AJI Jakarta, Iryan Hasyim, menegaskan Polri harus segera mengusut kasus ini secara transparan dan menghentikan normalisasi praktik kekerasan yang dikemas sebagai penertiban.
“Tindakan ini menunjukkan buruknya penegakan hukum dan langgengnya impunitas. Tangkap, hukum, dan adili seluruh pelaku kekerasan dari Korps Bhayangkara,” tegasnya dalam keterangan pada Senin (25/8/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi undang-undang. Setiap tindakan represif terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak demokrasi.
Karena itu, AJI dan LBH Pers mengajak solidaritas publik serta organisasi masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini agar tidak berhenti di tengah jalan.