PARBOABOA, Jakarta - Tragedi yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud), mengguncang dunia pendidikan Indonesia.
Timothy ditemukan meninggal pada Rabu, 15 Oktober 2025, setelah diduga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai dua gedung kampus.
Kasus ini memunculkan dugaan kuat adanya tindakan perundungan yang dilakukan oleh sesama mahasiswa, sebagaimana terungkap dalam percakapan di sebuah grup WhatsApp yang tersebar luas di media sosial.
Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menegaskan agar pihak Universitas Udayana menjatuhkan hukuman tegas terhadap para pelaku yang terlibat dalam perundungan tersebut.
Hetifah menilai, kejadian tragis ini merupakan pukulan keras bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia dan berharap agar "kampus memastikan para pelaku mendapat sanksi yang setimpal."
Menurutnya, kasus Timothy menunjukkan bahwa kampus masih memiliki pekerjaan besar dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan psikis maupun sosial.
Padahal, mekanisme pencegahan dan penanganan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Jika peraturan ini diterapkan secara konsisten, Hetifah yakin tragedi seperti ini bisa dicegah. Ia juga meminta Universitas Udayana segera merumuskan langkah strategis untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang.
Ia mengingatkan bahwa setiap perguruan tinggi wajib memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) yang berfungsi melakukan sosialisasi dan memastikan lingkungan kampus bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental.
“Kampus harus menjadi ruang aman bagi semua mahasiswa, bukan tempat yang menimbulkan ketakutan dan tekanan,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Bidang Kesra itu.
Menanggapi hal ini, Rektor Universitas Udayana I Ketut Sudarsana menyatakan pihaknya telah menugaskan Satgas PPK untuk melakukan investigasi mendalam terkait dugaan perundungan yang dialami Timothy.
Ia menegaskan bahwa universitas akan memberikan sanksi seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan atau tindakan tidak berempati yang mencederai martabat sivitas akademika.
“Kami mengecam keras segala bentuk ucapan, komentar, atau tindakan tidak berempati, baik di dunia nyata maupun di ruang digital,” ungkapnya melalui keterangan resmi pada Jumat (17/10/2025).
Pernyataan Kemendikti
Terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti), Togar Mangihut Simatupang, menegaskan bahwa sanksi terberat bagi pelaku kekerasan atau perundungan di perguruan tinggi adalah pemutusan status mahasiswa atau drop out (DO).
Ia menjelaskan, ketentuan ini telah tercantum jelas dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, yang mengatur definisi, jenis, serta mekanisme penanganan kekerasan di kampus.
Peraturan tersebut, lanjutnya, membagi sanksi administratif menjadi tiga tingkatan, yakni ringan, sedang, dan berat. "Untuk kasus berat seperti perundungan yang berujung pada kematian, sanksinya bisa berupa DO.”
Togar juga menyampaikan rasa duka cita dan keprihatinan mendalam atas meninggalnya Timothy. Ia berharap semua pihak menaruh empati dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran untuk memperkuat sistem perlindungan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi.
Ia menambahkan bahwa pimpinan kampus telah menyampaikan rencana konkret untuk mencegah kasus serupa, termasuk melalui investigasi menyeluruh dan evaluasi sistem pengawasan internal.
Togar menegaskan bahwa penanganan kasus kekerasan harus dilakukan secara hati-hati, konsisten, dan menjamin ketidakberulangan. Jika ditemukan unsur pidana, maka kasus dapat dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut.
Kasus Timothy kini menjadi cermin suram bagi dunia pendidikan Indonesia, menegaskan kembali pentingnya membangun kampus yang benar-benar aman, inklusif, dan berempati.
Sebab, di balik prestasi akademik dan gedung megah, nyawa seorang mahasiswa telah menjadi pengingat pahit bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam memastikan ruang belajar yang bebas dari kekerasan dan perundungan.