Pemerintah Dorong Papua Jadi Basis Bioetanol dan Biodiesel Nasional

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan dukungannya terhadap gagasan menjadikan Papua sebagai pusat produksi bahan baku etanol (Foto: IG/@bahlillahadalia)

PARBOABOA, Jakarta - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai memetakan Papua sebagai salah satu wilayah strategis dalam pengembangan bahan baku bioetanol nasional. 

Langkah ini menjadi bagian dari upaya besar pemerintah untuk menekan ketergantungan impor bahan bakar minyak sekaligus mendorong swasembada energi berbasis potensi dalam negeri.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan dukungannya terhadap gagasan menjadikan Papua sebagai pusat produksi bahan baku etanol. 

Menurut dia, Indonesia hingga kini masih mengimpor bensin dalam jumlah besar, sehingga perlu kebijakan terobosan melalui pencampuran etanol dalam bensin.

“Untuk bensin impor kita masih banyak, maka yang harus kita lakukan adalah membuat program mandatory E10, E20, atau E30,” ujar Bahlil di Istana Negara, Selasa (16/12/2025) kemarin.

Bahlil menjelaskan, etanol dapat diproduksi dari berbagai komoditas pertanian seperti singkong, jagung, dan tebu. 

Dengan ketersediaan lahan dan sumber daya alam yang luas, Papua dinilai memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai salah satu wilayah penyangga produksi bahan baku etanol nasional.

“Etanol itu dari singkong, dari jagung, dari tebu, dan bahan baku lain. Saya pikir Papua salah satu wilayah yang bisa dijadikan sebagai bagian dari produksi bahan baku untuk etanol,” katanya.

Selain mendorong pengembangan bioetanol, pemerintah juga tengah memperkuat pemanfaatan energi nabati melalui kebijakan mandatory biodiesel. 

Saat ini, Indonesia telah menerapkan campuran biodiesel B40 dan menyiapkan langkah menuju B50. Kebijakan ini memanfaatkan fatty acid methyl ester (FAME) yang berasal dari crude palm oil (CPO) dan dicampur dengan solar.

“Kalau kita bicara B40, B50 kan itu campuran dari FAME, itu CPO dengan metanol dicampur solar,” ujar Bahlil.

Ia menegaskan, peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan berdampak pada melonjaknya kebutuhan bahan baku. Karena itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan pasokan agar program tersebut berjalan berkelanjutan.

“B40 dan B50 menggunakan campuran FAME, yaitu minyak sawit atau CPO yang dipadukan dengan metanol dan solar. Jika kita menuju B50, otomatis kebutuhan bahan bakunya akan meningkat signifikan,” ujar Bahlil.

Menurut Bahlil, konsep swasembada energi yang digariskan Presiden Prabowo tidak terbatas pada satu sumber energi. Pemerintah diarahkan untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki Indonesia, baik dari sumber fosil maupun energi terbarukan berbasis pertanian.

“Swasembada yang dimaksud Bapak Presiden adalah kita harus mengoptimalkan, memaksimalkan seluruh potensi-potensi yang ada di negara kita. Ada fosil, ada nabati,” ujarnya.

Arah kebijakan ini sebelumnya juga ditegaskan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan bersama Komite Eksekutif Percepatan Otonomi Khusus Papua di Istana Negara, Selasa (16/12/2025). 

Presiden mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua sebagai bagian dari strategi nasional menekan impor BBM yang nilainya telah mencapai sekitar Rp520 triliun.

“Nantinya, di Papua juga diharapkan dapat dikembangkan kelapa sawit agar bisa menghasilkan BBM berbasis sawit,” kata Prabowo.

Tak hanya sawit, Presiden juga menaruh perhatian pada pengembangan komoditas lain seperti tebu dan singkong yang dapat diolah menjadi etanol sebagai bahan bakar alternatif. 

Menurut Prabowo, strategi ini tidak hanya memperkuat kemandirian energi nasional, tetapi juga memberi dampak ekonomi langsung bagi daerah.

“Dengan kebijakan ini, kita bisa menghemat ratusan triliun rupiah, baik dari sisi subsidi maupun impor BBM,” pungkas Presiden.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS