PARBOABOA, Jakarta – Rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) di pesisir utara Jawa kembali menjadi sorotan publik.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk melaksanakan megaproyek senilai Rp1.620 triliun itu melalui pembentukan Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa.
Langkah ini menandai keseriusan pemerintah mendorong proyek strategis yang telah digagas sejak dekade 1990-an.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa badan otorita tersebut menjadi pilar penting dalam mendukung pembangunan GSW.
Ia menegaskan, rencana tanggul laut sejatinya sudah ada sejak 1995, namun baru kali ini benar-benar diformalkan dalam kerangka kebijakan nasional.
Sebagai tindak lanjut, Presiden Prabowo langsung melantik Darwin Trisna Djajawinata dan Suhajar Diantoro sebagai wakil kepala badan otorita.
Dengan struktur kelembagaan ini, pemerintah berharap percepatan realisasi proyek bisa segera dimulai, terutama di Teluk Jakarta yang menjadi titik awal pembangunan.
Proyek Bernilai Fantastis
Rencana pembangunan GSW mencakup bentangan sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur. Estimasi biayanya mencapai US$80 miliar atau sekitar Rp1.280 triliun.
Tahap awal di Teluk Jakarta diproyeksikan berlangsung 8–10 tahun dengan anggaran US$8–10 miliar.
Skala dan nilai proyek ini menjadikannya salah satu infrastruktur terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, biaya yang amat tinggi memunculkan tanda tanya besar: apakah manfaat yang diperoleh sepadan dengan beban anggaran yang ditanggung negara?
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menyuarakan kritik keras. Menurutnya, selain membutuhkan dana jauh lebih besar dibanding pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), GSW juga berisiko membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah penerimaan negara yang terbatas.
“Kalau proyek ini dipaksakan, defisit bisa melebar, utang menumpuk, dan kondisi fiskal menjadi tidak sehat,” ujarnya kepada media.
Huda menilai dampak ekonomi GSW hanya bersifat sementara, lebih berupa lonjakan aktivitas konstruksi ketimbang kontribusi berkelanjutan pada perekonomian nasional.
Huda juga mengingatkan bahwa ada pilihan mitigasi yang lebih ramah lingkungan dan efisien, seperti rehabilitasi mangrove atau pembangunan pemecah gelombang alami.
Menurutnya, solusi berbasis ekosistem jauh lebih relevan dibanding proyek raksasa yang menyedot ribuan triliun rupiah.
Selain itu, ia menilai minat investor terhadap GSW kemungkinan rendah. Hal ini mencerminkan pengalaman serupa pada proyek IKN, di mana meski berstatus Proyek Strategis Nasional, investor swasta tetap ragu masuk karena tidak melihat prospek keuntungan yang jelas.
Kekhawatiran lain adalah persoalan tata kelola. Pembangunan GSW akan melintasi lima provinsi dengan kewenangan otonom, mulai dari Banten hingga Jawa Timur.
Jika pemerintah pusat terlalu dominan, dikhawatirkan terjadi benturan dengan pemerintah daerah.
“Badan otorita baru berisiko menambah beban anggaran sekaligus menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Semangat otonomi daerah jangan sampai diabaikan,” kata Huda.
Ia menekankan perlunya kajian menyeluruh, termasuk keterlibatan masyarakat pesisir yang kehidupannya sangat bergantung pada laut.
Skema Pembiayaan yang Rumit
Sementara analis ekonomi Ronny P. Sasmita menilai GSW bukan proyek komersial, sehingga sulit mengandalkan investasi swasta.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya menggunakan pinjaman lunak jangka panjang dari lembaga multinasional seperti World Bank atau BRICS Bank.
Alternatif lainnya, pemerintah bisa menerbitkan obligasi tematik “Giant Great Wall Bond” dengan tenor 30 tahun lebih dan bunga rendah.
Namun, bagaimanapun, APBN tetap harus menyertakan dana setiap tahun sebagai modal pendamping.
Di sisi lain, survei Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menunjukkan mayoritas masyarakat pesisir, yakni 56,2 persen responden, menolak proyek ini.
Mereka khawatir ekosistem laut rusak dan penghidupan nelayan terganggu.
Kritik juga datang dari akademisi dan aktivis lingkungan. Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies menilai anggaran raksasa GSW berpotensi memangkas alokasi untuk program kesejahteraan publik.
Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Maleh Dadi Segoro memperingatkan bahwa konsentrasi pembangunan di Pantura justru bisa mempercepat penurunan tanah akibat masifnya infrastruktur dan ekstraksi air tanah.
Meski dihujani kritik, Presiden Prabowo berulang kali menegaskan bahwa GSW sangat vital bagi keselamatan wilayah Pantura dari ancaman banjir rob dan perubahan iklim ekstrem.
Hal itu ia sampaikan dalam International Conference on Infrastructure 2025 di Jakarta Convention Center.
Menurut Prabowo, kerja sama dengan negara lain terbuka lebar, namun pembangunan tetap akan dimulai dengan kemampuan nasional.
“Kita tidak menunggu. Kita gunakan kekuatan kita sendiri,” tegasnya Juli lalu.