Opera Batak: Dari Gubuk Sitamiang ke Panggung Dunia

Opera Batak tempo dulu. (Foto: Arsip Opera Batak: Antara Kognisi dan Literasi oleh Thompson Hs)

PARBOABOA, Pematangsiantar – Di sebuah kampung kecil di jantung Pulau Samosir,  Sitamiang, denting gondang pertama itu menggema. Tahun 1920-an, panggung sederhana dari kayu dan terpal menjadi saksi lahirnya satu bentuk seni pertunjukan yang kelak dikenal sebagai Opera Batak. Di balik tirai kain seadanya, narasi Batak bersentuhan dengan pengaruh dunia luar. Gendang bertemu kisah. Musik bertemu kritik. Dan dari situ, seni panggung yang bernyawa itu pun tumbuh.

Tilhang Oberlin Gultom adalah tokoh kharismatik dari kelompok Tilhang Parhasapi yang menggagas pertunjukan tersebut. Bersama kawan-kawan, Ia menyalurkan keresahan zamannya lewat lakon, nyanyian, dan gerak tubuh. Awalnya, istilah opera belum digunakan. Namun pengaruh dari Opera Luther milik para misionaris Protestan dan geliat Opera Melayu yang menyeberang dari Penang dan Serdang mulai meresap.

Pertengahan 1920-an, istilah Opera Batak lahir. Bukan sebagai tempelan gaya Eropa, tapi sebagai penanda perjumpaan antara akar tradisi dan perubahan zaman. Dalam pertunjukan-pertunjukannya, Opera Batak menyalurkan suara hati masyarakat—kadang lucu, kadang getir, sering kali menyentil kekuasaan kolonial.

Tak heran bila panggung mereka sempat dilarang. Lakon-lakon yang dibawakan terlalu berani. Namun kelompok Tilhang tak berhenti. Mereka berpindah nama, berpindah lokasi, namun tidak berpindah semangat. Di tengah tekanan, simpati pun datang dari para jurnalis dan kaum terpelajar seperti S.M. Simanjuntak dan Batara Sangti. Mereka menulis, mempelajari, dan membangun reputasi Opera Batak hingga menjangkau aula, gereja, bahkan kota-kota besar seperti Medan dan Padangsidimpuan.

pengumuman opera batak

 

Pengumuman Opera Batak tempo dulu (Foto:  Arsip Opera Batak, antara Kognisi dan Literasi oleh Thompson Hs.)

Thomson Hutasoit (Thomson Hs), budayawan sekaligus pendiri Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), menyebut bahwa kekuatan Opera Batak tak hanya terletak pada bentuk artistiknya, melainkan juga fungsinya sebagai medium komunikasi sosial.

"Opera Batak lahir dari semangat menyampaikan pesan sosial melalui seni. Ia muncul di tengah ketegangan kolonialisme dan perubahan budaya masyarakat Batak, lalu menjadi pertunjukan yang menjangkau masyarakat luas," ujar Thomson kepada Parboaboa.

Dari segi struktur, pertunjukan Opera Batak unik dan kompleks. Ropol (renda) musikal menandai pembukaan, disusul tarian pembuka, prolog, lakon utama, hingga sesi lawakan. Penonton tak hanya duduk diam. Mereka bisa naik ke panggung, berdialog langsung, bahkan menari bersama.

Jadi bagian dari pertunjukan. Alat-alat musik tradisional seperti taganing, sarune etek, dan sulim bukan sekadar pengiring, tapi tampil dominan. Bahkan, dalam beberapa pertunjukan, musik lebih dinikmati daripada ceritanya. Lagu-lagu sering diminta ulang, menjadikannya sorotan yang menyatukan penonton dengan panggung.

"Opera Batak menjaga nilai-nilai Batak lewat bentuk yang fleksibel. Humor, spontanitas, dan interaksi dengan penonton menjadi kekuatan yang membuatnya hidup sampai sekarang," tambah Thomson.

Teater Rakyat

Di balik tawa dan nyanyian dalam pertunjukan, Opera Batak menyimpan daya reflektif. Ia menjadi ruang kritik sosial, menggambarkan realitas, dan merekam dinamika masyarakat Batak. Dari tema kolonialisme, ketimpangan sosial, hingga cerita rakyat yang mengangkat keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan leluhur—semuanya tampil dengan gaya panggung yang cair dan komunikatif.

Tokoh-tokoh seperti Siboru Tumbaga, Guru Saman, hingga Sisingamangaraja XII hidup dalam lakon yang diracik dari sudut pandang lokal. Nilai dalihan na tolu, silsilah, dan harga diri muncul bukan dalam khotbah, tapi lewat dialog jenaka dan gestur lincah para pemain.

Di panggung tiga layar, cerita bukan sekadar dihidangkan, tapi dialami. Improvisasi menjadi kekuatan. Tak ada satu malam pertunjukan yang sama persis. Sebab seniman Opera Batak memahami bahwa cerita terbaik adalah yang tumbuh dari situasi dan penonton yang hadir malam itu.

Dalam semangat egaliter, siapa pun bisa menjadi bagian dari panggung. Anak-anak, petani, pedagang, semua memiliki ruang. Inilah yang membuat Opera Batak begitu membumi. Ia tidak menunggu disaksikan, tapi hadir dari desa ke desa.

"Opera Batak tidak menunggu penonton. Ia datang ke kampung-kampung, membangun hubungan sosial, dan mempererat komunitas. Pertunjukan menjadi ruang berkumpul dan menyusun ingatan bersama."

 

optak dari sanggar

Opera Batak dari Sanggar Angel Elkanean pada saat tampil di Waterfront Pangururuan, Kabupaten Samosir (Foto: Sanggar Angel Elkanean)

Tari-tarian dalam pertunjukan pun tak kalah penting. Ada Tari Lima Puak yang menampilkan keragaman etnis Batak, Tari Tumba yang hanya diiringi pantun vokal, hingga Tari Sawan yang berasal dari ritual dukun perempuan. Semua ditampilkan dalam koreografi kolosal yang tetap berpijak pada teknik tari Batak.

Sementara dari segi musikal, meski tampil dalam forum internasional, alat musik seperti hasapi atau taganing tetap dimainkan dengan teknik khas Batak. Tidak diubah, tidak dimodifikasi untuk pasar global.

Revitalisasi

Kisah kejayaan Opera Batak tak bisa dipisahkan dari dedikasi tokoh-tokoh seperti Tilhang Gultom. Ia tak hanya tampil di atas panggung, tapi juga menulis, mencipta lagu, merancang tari, hingga mengelola produksi. Lebih dari 20 naskah, belasan tarian, dan ratusan lagu tercipta dari tangannya. Ia menjadikan Opera Batak sebagai industri seni yang hidup dan produktif.

Puncak kejayaan terjadi pada 1930-an, saat kelompok Tilhang Batak Hindia Toneel melakukan tur ke Semenanjung Malaya dengan membawa 60 anggota. Mereka tampil di berbagai kota, membawakan lebih dari 20 lakon dan mengelola produksi secara profesional.

Pengakuan negara pun datang. Pada era Soekarno dan awal Orde Baru, Opera Batak dianugerahi Bintang Emas (1964) dan Satya Lencana Kebudayaan (1971). Tahun 1981, lakon Pulo Batu karya Sitor Situmorang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Inilah momen ketika Opera Batak resmi menjejak panggung nasional modern.

 

sertifikat opera batak

Sertifikat Opera Batak sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (Foto:  Arsip Opera Batak, antara Kognisi dan Literasi oleh Thompson Hs.)

Namun perubahan zaman membawa tantangan. Masuknya televisi, perubahan selera masyarakat, serta kurangnya regenerasi membuat Opera Batak meredup. Banyak kelompok bubar, panggung-panggung kosong, dan masyarakat pun beralih ke hiburan lain.

Tapi semangat tak pernah padam. Tahun 2002, Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) berdiri di Tapanuli Utara, menandai kebangkitan. Mereka tak hanya membawakan lakon klasik seperti Siboru Tumbaga, tapi juga menjelajah forum budaya internasional. Jerman, Vietnam, dan Malaysia, Mereka tampil dengan ciri khasnya, membuktikan bahwa seni ini masih relevan dan kuat.

"Revitalisasi ini bukan soal nostalgia, tapi bagaimana mempertahankan identitas dan menyuarakan lokalitas dalam konteks global," ujar Thomson.

Dan, sebagai puncak dari semua proses panjang itu, pada 22 Agustus 2024, Opera Batak resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI). Sebuah pengakuan formal atas seni pertunjukan rakyat yang lahir dari desa, tumbuh bersama rakyat, dan kini berdiri sejajar dengan warisan budaya besar lainnya.

Penulis: Patrik Damanik, Rizal Tanjung

Editor: P. Hasudungan Sirait

(Bersambung)

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS