PARBABOA, Jakarta - Perkara hukum yang menjerat Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, kembali menarik perhatian publik.
Meski telah divonis 1,5 tahun penjara sejak 2019 atas kasus pencemaran nama baik terhadap Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), hingga kini Silfester belum menjalani masa hukumannya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa putusan terhadap Silfester sudah bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
Karena itu, Kejaksaan menilai tidak ada alasan lagi untuk menunda proses eksekusi.
Kasus tersebut berawal dari orasi politik yang disampaikan Silfester pada 15 Mei 2017. Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa JK merupakan sumber dari berbagai persoalan bangsa.
Menurutnya, “jangan sampai masyarakat dipertentangkan dengan Presiden Jokowi, karena akar dari semua masalah politik adalah ambisi Jusuf Kalla.”
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menuduh JK menggunakan isu rasial sebagai alat politik dalam mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ia menuding JK berada di balik strategi itu demi kepentingan pemilu 2019 dan dugaan korupsi yang menguntungkan daerah asalnya.
Ia bahkan menyebut bahwa kesulitan ekonomi yang dialami rakyat bersumber dari tindakan para tokoh seperti JK, yang menurutnya mengedepankan praktik korupsi dan nepotisme demi memperkaya keluarga sendiri.
Setelah orasi tersebut, Silfester dilaporkan ke pihak berwajib oleh JK melalui kuasa hukumnya, Muhammad Ihsan. Menurut Ihsan, sebenarnya JK tidak berniat membawa perkara ini ke ranah hukum.
Namun, tekanan yang besar dari masyarakat Sulawesi Selatan, kampung halaman JK, membuat mantan Wakil Presiden Periode 2004-2009 itu tak punya pilihan lain.
“Karena desakan keluarga cukup kuat, akhirnya Pak JK menyetujui jika jalur hukum dianggap sebagai jalan terbaik,” jelas Ihsan.
Dua tahun setelah orasi, tepatnya pada 2019, pengadilan menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Silfester. Namun, hingga pertengahan 2025, ia belum juga menjalani masa hukuman.
Anang Supriatna menyampaikan bahwa pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan telah mengirimkan undangan kepada Silfester terkait pelaksanaan vonis tersebut.
Menanggapi perkembangan kasus ini, Silfester pada Senin (4/8/2025) menyatakan kesiapan untuk mengikuti proses hukum yang ada.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan dirinya ditahan, Silfester menjawab singkat bahwa ia tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Ade Darmawan, menuturkan bahwa hingga kini belum ada surat resmi dari Kejari Jakarta Selatan yang mengkonfirmasi waktu pelaksanaan eksekusi.
Mahfud MD Heran
Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menyampaikan keheranannya terhadap lambannya Kejaksaan dalam mengeksekusi vonis pidana terhadap Silfester Matutina.
Dalam pernyataannya melalui akun media sosial X (@mohmahfudmd), Mahfud mempertanyakan klaim Silfester yang menyebut dirinya sudah melalui proses hukum dan telah berdamai dengan Jusuf Kalla.
Mahfud menegaskan bahwa sebuah vonis pidana yang telah inkracht tidak dapat dibatalkan melalui perdamaian dengan korban.
“Tervonis mengatakan telah menjalani proses hukum dan berdamai serta saling memaafkan dengan Pak JK. Tapi proses hukum yang mana? Sejak kapan vonis pidana bisa diselesaikan dengan perdamaian? Kalau sudah inkracht, ya harus dieksekusi,” tulis Mahfud pada Selasa (5/8/2025).
Lebih lanjut, Mahfud menyoroti ketidakkonsistenan Kejaksaan dalam penanganan perkara ini.
Ia membandingkan dengan kinerja Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Agung yang selama tahun 2025 telah berhasil menangkap banyak buronan, bahkan hingga ke wilayah-wilayah terpencil seperti Papua.
“Aneh saja, yang ini tidak segera ditahan. Padahal sudah divonis dan tidak ada alasan hukum yang bisa menunda eksekusi,” ungkapnya.