Kendalikan Utang dengan Bijak: Pemerintah Terapkan Kebijakan Fiskal Kontrasiklikal

Menteri Keuangan Purbaya menekankan pentingnya mengelolah utang negara secara hati-hati dan kontrasiklikal (Foto: IG/@pyudhisadewa)

PARBOABOA, Jakarta - Posisi utang Indonesia pada akhir Juni 2025 tercatat sebesar Rp9.138,05 triliun, turun dibanding bulan sebelumnya yang mencapai Rp9.177,48 triliun. 

Meski mengalami penurunan, angka ini tetap lebih tinggi dibanding posisi akhir tahun 2024 yang berada di kisaran Rp8.813,16 triliun.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan total utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp1.150 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp7.908 triliun. 

“Pada posisi Juni, total outstanding kita mencapai Rp9.138 triliun, yang terdiri dari pinjaman dan SBN,” ujarnya dalam press rilis acara Media Gathering APBN 2026 di Sentul, Bogor.

Rincian lebih lanjut menunjukkan pinjaman pemerintah mencapai Rp1.157,18 triliun atau sekitar 12,7 persen dari total utang, dengan rincian Rp1.108,17 triliun berasal dari luar negeri dan Rp49,01 triliun dari dalam negeri.

Suminto menjelaskan, pinjaman luar negeri berasal dari dua sumber utama, yakni bilateral dan multilateral. 

Dalam skema bilateral, pemerintah bekerja sama dengan negara mitra seperti Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) serta Jerman melalui KFW (Kreditanstalt für Wiederaufbau). 

Sementara itu, pinjaman multilateral diperoleh dari lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IsDB).

Selain itu, pemerintah juga mengakses pinjaman komersial dari bank internasional seperti Standard Chartered, JP Morgan, dan BNP Paribas, serta dari kantor cabang bank nasional di luar negeri, seperti BNI New York dan Mandiri London.

Adapun pinjaman dalam negeri masih relatif kecil dan umumnya bersumber dari bank-bank milik pemerintah pusat dan daerah (Himbara dan BPD). Hingga kini, belum ada pinjaman dari sektor perbankan swasta domestik.

Di sisi lain, SBN yang telah diterbitkan hingga Juni 2025 mencapai Rp7.980,87 triliun, terdiri dari Rp6.484,12 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp1.496,75 triliun dalam valuta asing (valas). 

Valas yang digunakan mencakup dolar AS, euro, yen Jepang, dan dolar Australia.

Pemerintah juga tengah mempertimbangkan untuk menerbitkan Dimsum Bond dalam mata uang Renminbi (Yuan) pada kuartal IV tahun ini sebagai bagian dari diversifikasi sumber pembiayaan negara.

Sikap Menkeu

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pengelolaan utang akan dilakukan secara hati-hati dan kontrasiklikal, bukan sekadar mengikuti peta jalan yang kaku sebagaimana disarankan parlemen.

Ia menggunakan analogi “rem dan gas” untuk menjelaskan pendekatan tersebut. Saat ekonomi tumbuh pesat dan penerimaan pajak meningkat, pemerintah akan “menginjak rem” dengan mengurangi pembiayaan lewat penerbitan SBN. 

Sebaliknya, ketika ekonomi melambat dan membutuhkan dorongan belanja negara, defisit APBN dapat ditopang oleh utang.

“Yang penting adalah kebijakan fiskal yang bijak dan responsif terhadap siklus ekonomi,” ujar Purbaya dalam konferensi pers seusai rapat paripurna awal September lalu.

Menurutnya, batas utang tidak semestinya dipandang secara kaku, sebab strategi pembiayaan APBN seharusnya menyesuaikan kondisi ekonomi nasional. 

Ia optimistis, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, pemerintah tidak perlu menambah utang secara signifikan.

“Saya percaya ke depan kita bisa tumbuh tanpa menambah utang berlebihan. Dengan ekonomi yang lebih cepat, pendapatan negara otomatis meningkat,” ujarnya.

Purbaya menargetkan strategi ini mulai efektif pada 2027, setelah memastikan kinerja ekonomi 2026 berjalan sesuai harapan melalui data Produk Domestik Bruto (PDB) semester I 2026 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). 

Dari hasil itulah pemerintah akan menentukan apakah perlu menambah utang untuk menopang APBN 2027.

Hingga Agustus 2025, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp541,5 triliun, sementara utang baru yang ditarik mencapai Rp463,7 triliun atau 59,8 persen dari target Rp715,5 triliun. 

Kondisi ini menggambarkan kebijakan “gali lubang tutup lubang” yang dilakukan agar ruang fiskal tetap tersedia untuk pembiayaan negara.

Dalam RAPBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp781,87 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya. 

Dari jumlah itu, Rp749,19 triliun akan dipenuhi melalui SBN, sedangkan pembiayaan pinjaman neto sebesar Rp32,67 triliun, atau turun hampir 75 persen dibanding outlook 2025.

Pinjaman neto tersebut terdiri dari pinjaman dalam negeri negatif Rp6,53 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp39,21 triliun.

Meskipun meningkat, nilai itu masih jauh lebih rendah dibanding realisasi utang pada 2021 yang mencapai Rp870,5 triliun, pasca pandemi COVID-19.

Purbaya menegaskan bahwa yang terpenting bukanlah menutup utang secara mendadak, melainkan mengurangi ketergantungan dengan memperkuat pendapatan negara, terutama melalui efisiensi pajak.

“Setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi, potensi tambahan penerimaan negara bisa mencapai sekitar Rp220 triliun. Kalau ekonomi naik 0,5 persen saja, kita bisa tambah pendapatan sekitar Rp110 triliun,” ujarnya.

Ia menambahkan, bila Indonesia menghadapi krisis ekonomi seperti saat pandemi, melampaui batas utang 60 persen terhadap PDB dan defisit di atas 3 persen tidak akan menjadi masalah besar, selama dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.

“Yang penting adalah menjaga stabilitas makroekonomi dan politik agar pertumbuhan bisa tetap cepat dan berkelanjutan,” tegas Purbaya. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS