PSN Merauke Picu Ancaman Deforestasi 695 Ribu Hektare: Antara Ambisi Pembangunan dan Krisis Hutan Papua Selatan

Unjuk rasa Solidaritas Merauke di depan Kementerian ATR/BPN di Jakarta, 7 Oktober 2025. (Foto: Do. Solidaritas Merauke)

PARBOABOA, Jakarta - Pelepasan kawasan hutan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, memicu kekhawatiran serius akan deforestasi besar-besaran.

Tiga organisasi lingkungan memperkirakan sekitar 695 ribu hektare hutan akan hilang akibat kebijakan terbaru pemerintah, menimbulkan dilema antara pembangunan ekonomi dan kelestarian alam Papua.

Gelombang pembangunan di ujung timur Indonesia kembali menimbulkan tanda tanya besar.

TREND Asia, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia memperkirakan potensi deforestasi seluas 695.315 hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, sebagai dampak dari pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Prediksi ini muncul setelah pemerintah mengeluarkan dua Keputusan Menteri Kehutanan, yakni Nomor 430 Tahun 2025 dan 591 Tahun 2025, yang menjadi dasar hukum pelepasan kawasan hutan di wilayah tersebut.

Menurut Juru Kampanye Bioenergi TREND Asia, Amalya Reza, revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mendukung PSN mendorong perubahan besar dalam peruntukan lahan.

“Pelepasan kawasan hutan dan penurunan fungsi hutan ini akan membuka jalan bagi proyek-proyek pangan dan energi, tapi dengan risiko ekologis yang sangat besar,” ujarnya di Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Proyek strategis di Merauke sendiri telah dirintis sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kini diteruskan oleh Presiden Prabowo Subianto.

PSN di kawasan itu mencakup program ketahanan pangan nasional seperti pencetakan sawah baru, perkebunan tebu, serta pengembangan industri bioetanol dan biodiesel.

Untuk merealisasikan ambisi tersebut, dibutuhkan lahan seluas 2,2 juta hektare, sebagian besar berada di wilayah berhutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Data dari tiga organisasi lingkungan menunjukkan bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430 Tahun 2025 mengubah peruntukan hutan menjadi non-hutan seluas 56.636 hektare di empat kabupaten — Asmat, Boven Digoel, Mappi, dan Merauke.

Lahan ini dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur, permukiman, jalan, dan lahan pertanian. Sementara itu, 175.009 hektare hutan lainnya di Asmat dan Mappi kini berubah fungsi untuk tujuan serupa.

Tidak berhenti di situ, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 memperluas skala perubahan lahan dengan menetapkan 486.939 hektare kawasan hutan di Boven Digoel, Mappi, dan Merauke menjadi Area Penggunaan Lain (APL).

Secara hukum, perubahan tipologi dari Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) ini menandai pergeseran besar dalam pengelolaan ruang wilayah Papua Selatan — dari konservasi menuju eksploitasi.

Dampaknya, hutan lindung yang semula berstatus kawasan konservasi kini terancam kehilangan fungsi ekologisnya.

Amalya Reza menegaskan bahwa bukan hanya hutan yang akan terpengaruh, tetapi juga 49 wilayah indikatif masyarakat adat di tiga kabupaten terdampak — Merauke, Boven Digoel, dan Mappi.

“Masyarakat adat menggantungkan hidup pada ekosistem hutan. Jika hutan hilang, hilang pula identitas dan sumber penghidupan mereka,” katanya.

Ia menambahkan, Area Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) tingkat 2 hingga 5 yang memiliki kekayaan biodiversitas luar biasa kini berada di ambang kehancuran.

Langkah pemerintah ini, menurut Amalya, kontras dengan janji Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB ke-80 di New York, 23 September 2025, yang berkomitmen untuk merestorasi 12 juta hektare lahan hutan.

“Kebijakan ini seperti mengulang kesalahan masa lalu dari proyek food estate yang terbukti gagal dan meninggalkan jejak kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid, memberikan pembelaan. Ia menegaskan bahwa lahan yang dilepas dari kawasan hutan mencapai 474 ribu hektare, dengan 451 ribu hektare di antaranya telah memiliki Peta Bidang Tanah (PBT).

Menurutnya, wilayah tersebut merupakan hutan tak berpenghuni yang dikategorikan sebagai tanah negara.

“Ini hutan negara, tidak ada penduduknya, jadi tidak perlu pembebasan lahan,” ujarnya pada Senin, 29 September 2025, dikutip dari Antara.

Dari total lahan tersebut, 1.140 hektare dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan dan permukiman pekerja PSN, 146 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit, 263 ribu hektare untuk lahan sawah di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, serta 41 ribu hektare untuk pengembangan sawah di Merauke Kota.

Nusron menilai langkah ini sebagai bagian dari percepatan pembangunan Papua yang telah menjadi fokus nasional dalam lima tahun terakhir.

Namun, pandangan berbeda datang dari Sutami Amin, peneliti dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Ia menilai kebijakan pelepasan kawasan hutan di Papua Selatan berangkat dari asumsi “penguasaan negara atas tanah dan hutan” (domain verklaring) yang sering digunakan untuk menyingkirkan masyarakat adat dari wilayah leluhurnya.

“Klaim hukum seperti ini membuka jalan bagi pengusiran masyarakat yang sudah turun-temurun hidup di tanah itu,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (8/10/2025).

Menurut Sutami, percepatan pembangunan di Papua seharusnya tidak menegasikan hak-hak adat dan keberlanjutan ekologis.

Ia menegaskan bahwa pembangunan sejati di Papua bukan sekadar membuka lahan, melainkan memastikan kesejahteraan masyarakat berjalan seiring dengan pelestarian alam.

Jika ditinjau lebih luas, kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk PSN di Papua Selatan memperlihatkan pertarungan antara dua kepentingan besar: pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Di satu sisi, proyek ini diharapkan menjadi penggerak pertumbuhan dan ketahanan pangan nasional.

Namun di sisi lain, ia mengancam hutan tropis tersisa di Papua — rumah bagi ribuan spesies endemik dan ratusan komunitas adat yang bergantung padanya.

Dengan ambisi pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua, publik kini menantikan bagaimana negara menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan komitmen lingkungan yang telah dijanjikan di panggung dunia.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS