BCA Klarifikasi Isu Akuisisi Saham oleh Djarum

Menara Bank Central Asia (BCA) yang terletak di kompleks Grand Indonesia, Jl. MH Thamrin No. 1. Jakarta (Foto: dok. BCA)

PARBOABOA, Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) akhirnya memberikan klarifikasi terkait isu pembelian 51 persen saham perseroan oleh Grup Djarum pada tahun 2002–2003.

Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menegaskan bahwa informasi yang menyebut Djarum mengakuisisi separuh saham BCA hanya dengan harga Rp5 triliun, atau jauh di bawah nilai pasar Rp117 triliun kala itu, tidak sesuai fakta. 

Ia menjelaskan pada Kamis (21/8/2025), "angka Rp117 triliun yang kerap dikutip sebenarnya merujuk pada total aset BCA, bukan pada valuasi pasar perusahaan."

Menurut data resmi, nilai pasar BCA pada periode tersebut berdasarkan harga rata-rata saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya sekitar Rp10 triliun. Perhitungan ini berasal dari harga saham dikalikan jumlah total saham beredar. 

Angka tersebutlah yang kemudian menjadi dasar dalam proses tender penjualan saham.

Ketut menekankan bahwa transaksi akuisisi 51 persen saham BCA oleh konsorsium Farindo dilakukan sesuai mekanisme pasar dan mencerminkan kondisi sebenarnya saat itu. 

Proses tender, lanjutnya, “dijalankan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.”

Isu Utang

Selain membantah isu rekayasa harga saham, BCA juga meluruskan kabar mengenai utang Rp60 triliun kepada negara yang disebut diangsur Rp7 triliun per tahun. 

Menurut Ketut, informasi tersebut keliru. 

Yang benar, lanjutnya, "BCA pada waktu itu memegang aset berupa obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun. Seluruh kewajiban tersebut telah selesai pada 2009, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku."

Isu penjualan saham BCA ini kembali ramai diperbincangkan setelah sejumlah pihak, termasuk legislator, menyoroti proses akuisisi yang dilakukan pada awal 2000-an. 

Kala itu, BCA menjadi salah satu bank yang terkena imbas besar dari krisis moneter 1997 dan terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam catatan mendiang Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid, disebutkan bahwa BCA menerima BLBI sebesar Rp31,99 triliun untuk meredam krisis. 

Sebagai gantinya, saham BCA diambil alih pemerintah dari keluarga Salim. Dari utang tersebut, BCA telah membayar pokok Rp8 triliun dan bunga Rp8,3 triliun. 

Meski bunganya tinggi (mencapai 70 persen per tahun), pembayaran itu tidak mengurangi sisa pokok. Hingga akhirnya masih tersisa utang Rp23,99 triliun, setara 92,8 persen dari nilai saham BCA pada masa itu.

Selain BLBI, pemerintah juga mengucurkan dana tambahan berupa Obligasi Rekapitalisasi Perbankan senilai Rp60 triliun untuk memperkuat permodalan BCA. 

Kwik memperkirakan, jika digabung dengan laba bersih sekitar Rp4 triliun yang dimiliki BCA saat itu, total dana pemerintah yang melekat pada bank swasta terbesar ini mencapai Rp87,99 triliun.

Namun, saham mayoritas BCA kemudian dijual kepada Farallon melalui konsorsium senilai Rp10 triliun. 

Menurut Kwik, keputusan ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp78 triliun, jumlah yang dianggap jauh lebih besar dibandingkan kerugian Rp33 triliun dari selisih nilai 108 perusahaan yang diserahkan keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS