PARBOABOA, Jakarta - Langkah Amerika Serikat yang kembali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi gencatan senjata permanen di Gaza menuai kecaman luas dari komunitas internasional.
Dalam pemungutan suara yang digelar pada 4 Juni 2025 di markas besar PBB, 14 dari 15 negara mendukung rancangan resolusi yang menyerukan penghentian kekerasan tanpa syarat dan akses penuh terhadap bantuan kemanusiaan di Gaza.
Namun, dukungan mayoritas itu runtuh karena Amerika Serikat melakukan veto atau membatalkan keputusan yang telah disetujui oleh mayoritas.
Resolusi tersebut memuat tuntutan yang tegas untuk menghentikan gencatan senjata permanen, pembebasan seluruh sandera oleh Hamas serta kelompok bersenjata lainnya, dan penghapusan semua hambatan terhadap masuknya bantuan ke wilayah Gaza.
Namun, AS berdiri di sisi berlawanan. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa keputusan veto tersebut diambil untuk melindungi kepentingan Israel.
“Amerika Serikat tidak akan mendukung teks yang menyamakan Israel dengan Hamas atau mengabaikan hak Israel untuk membela diri,” ujar Rubio mengutip laporan News Asia, Kamis (5/06/2025).
Ia juga menegaskan bahwa AS akan "terus berdiri bersama Israel di PBB.”
Veto ini menjadi yang pertama dalam isu Gaza sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada Januari 2025. Sebelumnya, sikap serupa ditunjukkan Washington pada November 2024 lalu.
Tindakan AS tersebut segera menuai kritik tajam dari berbagai negara dan organisasi.
Tiongkok, dalam pernyataan resminya, menilai bahwa hasil pemungutan suara itu menunjukkan “penghalang utama bagi perdamaian di Gaza adalah veto berulang dari Amerika Serikat.”
Suara yang lebih emosional datang dari Duta Besar Pakistan untuk PBB, Asim Ahmad, yang menyebut kegagalan ini sebagai “noda moral dalam hati nurani Dewan Keamanan yang akan bergema selama beberapa generasi.”
Di pihak lain, kelompok Hamas mengecam keras langkah veto AS dengan menyebutnya sebagai tindakan “memalukan” yang “melegitimasi genosida dan membenarkan penghancuran serta kelaparan massal.”
Meski begitu, Israel melalui Duta Besarnya untuk PBB, Danny Danon, menilai resolusi tersebut sebagai tindakan “sia-sia.”
Ia menilai bahwa resolusi itu tidak memberikan kontribusi nyata terhadap upaya penyaluran bantuan kemanusiaan.
Di tengah perdebatan politik global, kondisi lapangan di Gaza terus memburuk. PBB telah mengeluarkan peringatan serius bahwa sekitar dua juta penduduk di wilayah tersebut menghadapi ancaman kelaparan.
Meski Israel sempat membuka sebagian akses perbatasan pada pertengahan Mei, volume bantuan yang masuk masih sangat minim. “Truk-truk bantuan hanya mengalir sedikit demi sedikit,” ungkap PBB dalam laporannya.
Negara-negara pendukung resolusi menyerukan tindakan nyata untuk menyelamatkan nyawa warga sipil yang kian terjebak dalam krisis kemanusiaan.
Duta Besar Prancis untuk PBB, Jerome Bonnafont, menyayangkan kegagalan Dewan Keamanan yang menurutnya tidak lagi memenuhi mandat utamanya.
Dewan Keamanan PBB, ungkap Jerome, "gagal menjalankan tanggung jawabnya, padahal mayoritas dari kita telah menyuarakan pandangan yang sejalan."