Sengketa Ambalat Mencuat: Indonesia dan Malaysia Hadapi Dilema Antara Damai dan Dominasi

Sebuah kapal milik Indonesia berpatroli di perairan Blok Ambalat perbatasan RI-Malaysia. (Foto: Dok. Dispen Koarmada II)

PARBOABOA, Jakarta - Sengketa mengenai batas wilayah Indonesia dan Malaysia, utamanya di Laut Ambalat yang berada di Laut Sulawesi atau Selat Makassar kembali mencuat.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mendesak pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi persoalan batas maritim dengan Malaysia.

Ia menekankan penguatan itu tidak cukup melalui jalur diplomasi saja. 

Perlu ada tindakan nyata di lapangan, seperti peningkatan patroli oleh TNI Angkatan Laut, pembangunan fasilitas navigasi, hingga kegiatan eksplorasi migas yang melibatkan badan usaha milik negara seperti Pertamina Hulu Energi.

"Bagian dari strategi ini adalah memperkuat kehadiran Indonesia secara fisik dan simbolik di wilayah Ambalat," ujar Dave dalam keterangan yang disampaikan pada Rabu (6/8/2025).

Ia menilai bahwa aktivitas ekonomi dan sosial di kawasan tersebut penting dilakukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kontrol de facto atas wilayah yang disengketakan. 

Komisi I, lanjutnya, juga memberikan dukungan terhadap inisiatif kerja sama bilateral dalam bentuk "joint development authority" antara Indonesia dan Malaysia untuk pengelolaan wilayah Ambalat. 

Namun, kerja sama semacam itu harus didasari pada kejelasan batas wilayah serta tata kelola yang adil dan transparan bagi kedua belah pihak.

Dalam konteks ini, Dave menegaskan Komisi I DPR RI akan terus memantau dan mengawal isu Ambalat secara aktif agar setiap keputusan yang diambil tetap sejalan dengan kepentingan nasional serta tidak mengurangi posisi tawar Indonesia di panggung internasional.

Ia juga menekankan pentingnya prinsip kedaulatan yang berlandaskan hukum internasional, terutama mengacu pada Perjanjian Landas Kontinen 1969 dan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.

Pernyataan ini disampaikan Dave sebagai respons atas sikap resmi pemerintah Malaysia yang belakangan menggunakan istilah Laut Sulawesi alih-alih Laut Ambalat untuk menyebut wilayah Blok ND6 dan ND7.

“Bagi kami di Komisi I DPR RI, penyebutan Laut Ambalat bukan semata soal nama, tapi merupakan bagian dari penegasan klaim wilayah yang sah. Ini adalah hasil dari proses panjang baik secara diplomatik maupun teknis,” kata Dave.

Hingga kini, belum ada kesepakatan akhir antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengelolaan bersama Blok ND6 dan ND7 yang berada di kawasan Ambalat. 

Oleh karena itu, Dave mendorong pemerintah untuk terus menempuh jalur diplomasi berbasis hukum internasional, termasuk memanfaatkan forum ASEAN dan kerja sama maritim kawasan, demi menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional.

Ambalat sendiri merupakan wilayah laut seluas sekitar 15.235 kilometer persegi yang terletak di dekat perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Utara, Indonesia. 

Sengketa wilayah ini sudah berlangsung lama, dan meskipun pertemuan bilateral telah dilakukan dua kali, kedua negara belum menemukan titik temu soal batas wilayah tersebut.

Pemerintah Indonesia bersikukuh bahwa Ambalat merupakan bagian sah dari wilayah kedaulatan RI. 

Sebaliknya, Malaysia mengklaim area North Deepwater Block 6 dan 7 (ND6 dan ND7) sebagai wilayahnya, dan bahkan telah memberikan konsesi eksplorasi migas di sana kepada perusahaan minyak asal Inggris, Shell.

Sebagai bagian dari narasi baru, Malaysia kini menyebut wilayah itu sebagai bagian dari Laut Sulawesi yang masuk dalam administrasi negara bagian Sabah.

Terpisah, PM Malaysia, Anwar Ibrahim, menegaskan perselisihan wilayah antara Indonesia dan Malaysia di Blok Ambalat tidak akan menjadi konflik bersenjata seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. 

Ia memastikan, penyelesaian masalah ini akan ditempuh melalui jalur diplomasi, bukan kekuatan militer.

Dalam pernyataannya di Sekretariat ASEAN, Jakarta pada Selasa (29/7/2025) lalu, Anwar menyebut dirinya telah berdiskusi langsung dengan Presiden Prabowo untuk mencari jalan keluar dari sengketa tersebut. 

Ia menegaskan bahwa langkah utama yang ditempuh pemerintahannya adalah diplomasi damai. Sebab, "kalau tidak ingin perang, maka kita harus menemukan solusi damai." 

Pernyataan ini disampaikan di tengah kekhawatiran publik setelah meningkatnya ketegangan militer antara Thailand dan Kamboja di wilayah perbatasan pada 24 Juli 2025, yang turut memicu spekulasi akan potensi konflik serupa antara Indonesia dan Malaysia.

Anwar juga mengungkapkan bahwa pemerintahannya menghadapi tekanan dari oposisi di parlemen Malaysia yang menuntut sikap tegas terhadap persoalan perbatasan, termasuk terkait wilayah Sulawesi dan Ambalat. 

Meski demikian, ia menegaskan bahwa Malaysia tetap berkomitmen pada jalur dialog dan negosiasi. "Orang yang berpikiran jernih tentu akan memilih untuk berunding, dan itulah yang kami tempuh," katanya.

Ia menambahkan bahwa seluruh proses perundingan antara kedua negara selalu mengacu pada prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), serta didasarkan pada kesepakatan historis antara Indonesia dan Malaysia.

Sejarah Konflik Ambalat

Wilayah Ambalat telah lama menjadi titik perselisihan antara Indonesia dan Malaysia, utamanya karena potensi sumber daya alam serta posisinya yang strategis dalam jalur pelayaran internasional. 

Sengketa ini telah dikaji dalam berbagai studi, termasuk dalam jurnal bertajuk "Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional."

Pada masa kolonial, batas-batas wilayah di Asia Tenggara tidak ditetapkan secara rinci. Banyak perjanjian kolonial hanya mengatur batas darat dan tidak menyentuh wilayah maritim secara komprehensif. 

Akibatnya, tumpang tindih klaim kedaulatan menjadi hal yang lazim terjadi, termasuk di Ambalat. Indonesia mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari teritorialnya dengan landasan kuat sebagai negara kepulauan sesuai prinsip-prinsip UNCLOS 1982. 

Klaim tersebut diperkuat dengan dokumen sejarah, peta resmi, serta doktrin hukum internasional yang mendukung status kepulauan Indonesia.

Di sisi lain, Malaysia mengklaim sebagian wilayah Ambalat berdasarkan peta maritim sepihak yang diterbitkan pada 1979. 

Negara itu juga menggunakan kedekatan geografis dengan Pulau Sipadan dan Ligitan serta sejumlah pernyataan diplomatik sebelumnya sebagai dasar klaimnya.

Ketegangan mulai meningkat sejak 1980-an hingga 1990-an, ditandai dengan peningkatan patroli maritim, aktivitas eksplorasi migas oleh masing-masing pihak, dan saling menyampaikan protes diplomatik. 

Indonesia secara konsisten menolak klaim Malaysia, mengacu pada ketentuan UNCLOS dan prinsip kedaulatan negara kepulauan.

Puncak ketegangan terjadi pada 2009 saat Malaysia mengumumkan rencana eksplorasi migas di Blok Ambalat. Indonesia merespons dengan memperkuat patroli laut dan menegaskan kembali posisinya melalui berbagai forum diplomatik.

Walaupun dialog bilateral dan berbagai upaya kerja sama telah dilakukan selama bertahun-tahun, termasuk usulan pengelolaan bersama, belum ada penyelesaian final yang dicapai. 

Sepanjang dekade 2010-an, isu ini tetap menjadi sumber ketegangan, meski kedua negara bersepakat untuk menyelesaikannya secara damai dan mengedepankan hukum internasional sebagai pedoman.

Saat ini, baik Indonesia maupun Malaysia terus berupaya menjaga stabilitas kawasan dengan menekankan penyelesaian melalui jalur hukum dan diplomasi yang berpijak pada UNCLOS, sembari menjaga kepentingan nasional masing-masing. 

Sengketa ini menjadi ujian konsistensi kedua negara dalam mematuhi tatanan hukum internasional, sekaligus cerminan dinamika hubungan bilateral yang kompleks namun masih terbuka untuk penyelesaian damai.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS