Rencana Israel Kuasai Seluruh Gaza, Picu Gejolak Politik dan Kemanusiaan

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu didemo ratusan warganya yang meminta perang dihentikan. (Foto: Dok. REUTERS).

PARBOABOA, Jakarta – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengungkapkan rencana ambisius yang berpotensi mengubah peta konflik Timur Tengah: mengambil alih kendali militer penuh atas seluruh wilayah Jalur Gaza.

Pernyataan itu disampaikannya di tengah derasnya kritik, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional, terhadap perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun dan menelan korban sipil dalam jumlah besar.

Dalam wawancara eksklusif dengan Fox News Channel, Netanyahu menegaskan bahwa Israel memang berniat menguasai seluruh pesisir Gaza.

“Kami bermaksud demikian. Kami tidak ingin mempertahankan wilayah itu, tapi kami ingin perimeter keamanan. Kami tidak ingin mengatur atau memerintahnya,” ujarnya, dikutip dari Reuters, Jumat (8/8/2025).

Netanyahu menambahkan, setelah operasi militer selesai, pengelolaan Gaza akan diserahkan kepada pasukan Arab. Namun, ia menolak menjelaskan detail mekanisme maupun negara mana yang akan terlibat.

Komentar tersebut muncul menjelang pertemuan terbatas kabinet Israel yang membahas langkah militer berikutnya.

Pertemuan serupa sebelumnya bahkan disebut berlangsung “menegangkan” ketika para pejabat membahas perluasan operasi bersama kepala militer Israel.

Menurut sumber Reuters, salah satu skenario yang dipertimbangkan adalah pengambilalihan bertahap wilayah Gaza yang belum berada di bawah kendali militer Israel, dengan pemberian peringatan evakuasi kepada warga Palestina sebelum operasi dilakukan.

Jika terlaksana, langkah Netanyahu akan membalikkan kebijakan Israel tahun 2005 yang menarik pasukan dan pemukimnya dari Gaza.

Meski demikian, sejak saat itu Israel tetap mengontrol perbatasan, wilayah udara, dan utilitas utama.

Bagi kalangan sayap kanan Israel, keputusan penarikan 2005 dianggap sebagai pemicu kemenangan Hamas dalam pemilu 2006.

Namun, hingga kini belum jelas apakah Netanyahu berniat melakukan pendudukan jangka panjang atau sekadar operasi militer sementara untuk membubarkan Hamas dan membebaskan para sandera.

Reaksi Keras Hamas dan Dunia Arab

Hamas menyebut rencana Netanyahu sebagai “kudeta terang-terangan” terhadap proses negosiasi. Kelompok itu menuduh Netanyahu mengorbankan sandera demi melanjutkan agresi militer.

Seorang pejabat Yordania kepada Reuters menegaskan bahwa negara-negara Arab hanya akan mendukung solusi yang disepakati rakyat Palestina.

Sementara pejabat senior Hamas, Osama Hamdan, menegaskan kepada Al Jazeera bahwa pasukan Arab yang memerintah Gaza dengan restu Israel akan dianggap sebagai “kekuatan pendudukan.”

Sebelumnya, usulan Mesir untuk membentuk komite administratif teknokrat Palestina pascaperang ditolak oleh Israel dan Amerika Serikat.

Sementara, pada Kamis malam, ratusan demonstran memadati kawasan di depan kantor Perdana Menteri di Yerusalem, menuntut perang segera dihentikan dan sandera dibebaskan.

Para pengunjuk rasa membawa poster bergambar sandera yang masih ditahan di Gaza. “Saya muak dan lelah dengan pemerintahan ini.

Mereka telah menghancurkan hidup kami,” kata Noa Starkman (55), warga Yerusalem dari komunitas Israel selatan yang menjadi korban serangan Hamas tahun lalu.

Forum Keluarga Sandera mendesak Kepala Staf Militer, Eyal Zamir, agar menolak perluasan operasi.

Namun, Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan militer akan terus melanjutkan misi sampai seluruh tujuan perang tercapai.

Mandeknya Negosiasi

Data terbaru menunjukkan, sekitar 50 sandera masih ditahan di Gaza, dengan perkiraan hanya 20 di antaranya yang masih hidup.

Sebagian besar pembebasan sandera sejauh ini terjadi melalui jalur diplomasi, namun upaya gencatan senjata terakhir pada Juli kembali menemui jalan buntu.

Seorang pejabat senior Palestina menyebut Hamas telah memberi sinyal kepada mediator Arab bahwa peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza dapat membuka peluang negosiasi lanjutan.

Namun Israel menuduh Hamas menyita bantuan untuk pasukannya atau menjualnya guna membiayai operasi—klaim yang dibantah Hamas.

Pekan lalu, Hamas merilis video dua sandera yang masih hidup namun tampak sangat kurus dan lemah.

Tayangan itu memicu kecaman internasional sekaligus mempertegas krisis kemanusiaan yang semakin memburuk.

Hamas, yang telah memerintah Gaza hampir dua dekade namun kini hanya menguasai sebagian wilayah, tetap bersikeras bahwa kesepakatan apa pun harus mencakup penghentian perang secara permanen.

Israel menolak tuntutan itu, menuding Hamas tidak berniat benar-benar melepaskan kekuasaan setelah perang berakhir.

Militer Israel mengklaim telah menguasai sekitar 75% wilayah Gaza. Sementara itu, hampir dua juta penduduk Gaza telah mengalami pengungsian berulang selama hampir dua tahun.

Lembaga bantuan internasional memperingatkan bahwa warga Gaza kini berada di ambang kelaparan.

“Harus ke mana lagi kami pergi? Kami sudah cukup sering dipindahkan dan dipermalukan,” kata Aya Mohammad (30), warga Gaza City yang telah berkali-kali mengungsi sebelum kembali ke komunitas asalnya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS