PARBOABOA, Pematangsiantar – Setiap daerah punya varian lampet. Di Siborongborong ada ombus-ombus yang lengket dan kenyal. Di Parapat terdapat dolung-dolung berbentuk bulat dengan bungkus daun bambu. Gabur-gabur dan dagut-dagut menjejak di kawasan lain. Masing-masing punya keunikan dalam tekstur dan bahan.
Namun, semuanya berangkat dari semangat yang sama: kesederhanaan dan keberlanjutan. Menggunakan bahan lokal, dibungkus daun alami, dan dimasak dengan cara kukus. Sebuah proses yang tidak hanya menjaga cita rasa, tapi juga mencerminkan filosofi mangaranto tu tano—berakar pada tanah. Kudapan ini menjadi simbol keterikatan pada alam, pada rumah, pada kebersahajaan.
Tetap Tradisional
Sampai sekarang, proses membuat lampet di dapur-dapur nyaris tanpa perubahan. Dari pagi-pagi buta, kaum perempuan menyiapkan adonan dari tepung ketan atau beras, mencampur kelapa parut dengan gula merah, membungkusnya satu per satu dalam daun pisang yang dilayukan, lalu mengukusnya hingga aroma mengharum memenuhi dapur.
Tak jarang, proses ini diwariskan dari ibu ke anak atau dari nenek ke cucu. Ada yang belajar secara turun-temurun, ada pula seperti Ompung Rian yang otodidak: hanya dengan memperhatikan dan bertanya kepada sesama penjual. Kesabaran dan ketekunan menjadi bagian dari resep yang tak tertulis.
Membuat lampet dimulai dari menangani beras lokal. Bahan ini dicuci hingga bersih dan kemudian direndam semalaman agar lembap dan mudah digiling. Setelah diduda [ditumbuk] menjadi tepung halus (itak), materi ini dicampur dengan kelapa parut muda, sedikit gula putih, sejumput garam, dan air matang. Pengadukan berlangsung hingga adonan lembut serta cukup lentur untuk diisi dan dibentuk.
Sementara adonan utama menunggu, bagian isi disiapkan dengan kelembutan: kelapa parut dipadu dengan gula merah yang diserut halus, kemudian dimasak hingga harum dan cukup kental. Terkadang ditambahkan sedikit kayu manis untuk aroma hangat.
Daun pisang dilayukan di atas api agar lentur, lalu dioles sedikit minyak agar adonan tidak menempel. Adonan kemudian dibulatkan, diberi segera isian manis, dan dibungkus rapi dengan lipatan daun pisang—bentuk piramida atau persegi, sesuai tradisi lokal. Semua bungkusan ini dikukus secara perlahan selama 30 hingga 45 menit sampai mengeluarkan aroma daun pisang yang lembut menyatu dengan manis kelapa dan gula.
Hangatnya lampet sebaiknya dinikmati segera karena kenyal, lembut, dan membawa kehangatan rumah dalam satu gigitan.
Namun, itu tadi: kudapan ini tidak hanya hadir dalam satu rupa. Setiap varian membentangkan ragam budaya Batak. Pohul-pohul, umpamanya. Ia dibentuk dengan cara unik. Setelah semua bahan dicampur—tepung beras atau ketan, kelapa, gula merah, dan sedikit garam—ia dibentuk dengan kepalan sehingga menyisakan cetakan lima jari di permukaannya. Bentuk ini bukan semata estetika. Menyimbolkan juga bahwa di balik tekanan dan kesulitan seperti persiapan ritual adat, tersembunyi tujuan untuk memperkuat tali kekeluargaan. Setelah itu, bungkusan dikukus hingga mengeras lembut, siap disajikan saat acara adat maupun untuk oleh‑oleh keluarga.
Dolung‑dolung dibuat dengan bahan serupa: tepung beras, kelapa, gula aren. Namun bentuknya bulat mungil, dibungkus dengan daun bambu, dan umumnya dibuat dalam jumlah banyak saat acara adat seperti pesta pernikahan sebagai simbol bulatnya tekad dan persatuan keluarga mempelai. Bungkus bambunya memberikan aroma khas berbeda saat dikukus, dan isinya mewakili harapan agar keluarga mempelai tetap bersatu.
Itak gurgur, yang secara harfiah berarti tepung membara, mirip dengan lampet ketan namun diaduk dengan air hangat sehingga bisa langsung dikukus atau dimakan mentah. Biasanya dibentuk bulat menyerupai genggaman tangan, disemati makna simbolis: gurgur atau membara sebagai harapan agar semangat penerima tetap berkobar dalam menghadapi kehidupan.
Ombus‑Ombus, langkah membuatnya pertama-tama dengan manduda (menumbuk secara tradisional) beras pilihan. Lantas, bahan itu dicampur dengan kelapa parut, garam, dan gula putih. Hasilnya disebut itak gurgur. Untuk membuat ombus‑ombus, sedikit gula merah ditaruh di tengah adonan. Bahan kemudian dibungkus dengan daun pisang dan dibentuk menjadi kerucut. Setelah dikukus 30–45 menit hingga matang, jadilah camilan hangat yang harum. Variasi menggunakan tepung ketan atau campuran beras dan ketan menghasilkan tekstur kenyal.
Dalam bahasa Batak Toba, ombus‑ombus bermakna tiup‑tiup. Menjadi penamaan untuk lampet sebab kue ini disantap saat masih panas. Sering kali yang akan mengudap menunggu dulu sampai suhu cukup agar lidahnya tak terbakar.
Lampet pulut (ketan), bahan utamanya adalah tepung ketan—kadang dicampur tepung beras—dengan kelapa, gula, garam, dan vanili. Setelah adonan lembut tercampur, dibentuklah. Bahan bisa langsung dikukus atau dinikmati, setelah ditekan. Teksturnya kenyal dan sangat cocok disajikan hangat-hangat.
Sederhana
Semua varian lampet menggunakan bahan dasar hasil bumi: beras atau ketan, kelapa, gula merah, garam, ditambah daun alami sebagai bungkus dan media pengukusan. Kesederhanaan ini mencerminkan filosofi mangaranto tu tano [berakar pada tanah] dan sebab itu menghargai: alam, bahan lokal, dan cara natural dalam olah makanan.
Melalui tiap bentuk, tekstur, dan simbolnya, lampet serta ragamnya bukan hanya kudapan, tetapi juga cermin budaya Batak terkait solidaritas sosial, kekuatan komunitas, dan warisan leluhur.
Pohulpohul dengan jari genggaman menjadi pengingat nilai kekeluargaan lima panca indra. Dolung-dolung menyiratkan kesatuan hati. Itak gurgur menyemai api semangat. Ombus-ombus menghadirkan kehangatan dalam acara adat. Sedangkan pulut, ia memberikan rasa kenyang dan kekompakan dalam kemasan sederhana. Semua dibungkus dalam cita rasa sederhana, kenyal, manis, alami—yang tetap menghadirkan kenangan akan rumah, leluhur, dan akar budaya.
Penanda Waktu dan Identitas
Kue ini lebih dari sekadar makanan. Ia adalah memori kolektif, penanda waktu, dan simbol jati diri. Ia hadir dalam kelaparan petani masa lalu, dalam tawa pesta adat, dalam air mata perjuangan para ibu, dan kini dalam upaya menjaga warisan yang nyaris dilupakan.
Menghidupkan kembali lampet bukan hanya tentang memasak, tapi tentang mengingat bahwa di balik bungkusan daun pisang tersimpan filosofi hidup: kesederhanaan, ketekunan, dan cinta pada akar budaya.
Inilah yang akan membuat kita paham, bahwa lampet ini lebih dari sekadar camilan. Lampet adalah warisan budaya yang merekam perjalanan masyarakat Batak, dari masa agraris hingga memasuki era modern.
Lampet adalah tentang ingatan. Tentang aroma dapur di masa kecil. Tentang tangan keriput nenek yang membungkusnya pelan-pelan. Tentang kesunyian ladang dan pesta yang riuh. Tentang perjalanan panjang masyarakat Batak, dari zaman ladang hingga zaman layar sentuh.
Ia kecil dan sederhana. Tapi di dalamnya, tersimpan lapisan-lapisan sejarah, nilai, dan cinta. (Tamat)
Penulis: Triveni Gita Lestari Waloni, jurnalis Zonautara.com, Manado. Liputan ini merupakan Tugas Akhir di Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Editor: P. Hasudungan Sirait