Polemik Pembebasan Bersyarat Setya Novanto

Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) dinyatakan bebas dari lapas Sukamiskin Bandung pada Minggu (17/8/2025) (Foto: IG/@s.novanto).

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan pembebasan bersyarat bagi mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov), dari lapas Sukamiskin Bandung kembali memunculkan perdebatan. 

Ia dinyatakan bebas pada Minggu (17/8/2025) setelah memperoleh remisi Hari Kemerdekaan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tertanggal 15 Agustus 2025 Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.

Koordinator Maharani Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyatakan keberatannya atas keputusan tersebut. Ia menilai Setnov tidak layak mendapatkan pembebasan bersyarat karena rekam jejaknya selama menjalani hukuman.

“Ia pernah kedapatan menggunakan telepon seluler, pergi berbelanja ke toko bangunan, bahkan makan di restoran ketika masih menjadi napi. Perilaku itu jelas menunjukkan tidak memenuhi syarat berkelakuan baik,” ujar Boyamin dalam keterangannya, Selasa (19/8/2025).

Boyamin juga menyinggung persoalan hukum lain yang masih membayangi. Menurutnya, Setnov masih terkait dengan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang ditangani Bareskrim Polri. 

“Syarat pembebasan bersyarat adalah tidak tersangkut perkara lain, sementara Setnov masih tercatat dalam penyidikan kasus TPPU. Hal ini juga terkonfirmasi dalam jawaban Bareskrim pada sidang praperadilan yang diajukan LP3HI dan ARRUKI,” jelasnya.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2022 memang mensyaratkan dua hal pokok bagi napi yang ingin memperoleh bebas bersyarat, yakni berkelakuan baik dan tidak memiliki perkara pidana lain. Oleh karena itu, MAKI mendesak agar keputusan tersebut dibatalkan. 

“Jika tidak, kami akan menempuh jalur hukum dengan menggugat ke PTUN. Sudah ada yurisprudensi sebelumnya di mana pemberian pengurangan hukuman dibatalkan oleh pengadilan,” tegas Boyamin.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menaruh perhatian terhadap kasus ini. Melalui Kedeputian Koordinasi dan Supervisi, KPK berencana berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk memastikan perkembangan penyidikan TPPU yang menyeret nama Setya Novanto.

Bareskrim sendiri diketahui sudah menangani perkara tersebut sejak 2018 melalui Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Sidik/337/VII/RES.2.3/2018/Dit.Tipideksus. 

Kasus Setnov

Skandal korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) menjadi salah satu kasus terbesar dalam sejarah Indonesia. 

Proyek yang diluncurkan pada 2011 dengan anggaran Rp5,9 triliun ini awalnya bertujuan mulia untuk membangun sistem identitas nasional berbasis biometrik guna mencegah pemalsuan data. 

Namun, KPK kemudian mengungkap adanya penggelembungan anggaran sekitar Rp2,3 triliun yang mengalir ke banyak pihak, termasuk pejabat, anggota DPR, dan swasta.

Salah satu tokoh paling menonjol dalam kasus ini adalah Setya Novanto, politisi Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI saat itu. 

Pada 2017, KPK menetapkannya sebagai tersangka dengan dugaan berperan aktif mengatur jalannya proyek agar anggaran disetujui. Jaksa menyebut ia menerima jatah hingga USD 7,3 juta (sekitar Rp100 miliar). 

Proses hukumnya penuh drama, mulai dari upaya praperadilan, mangkir dari pemeriksaan, hingga kecelakaan mobil yang menabrak tiang listrik ketika ia tengah dicari KPK.

Kasus Setnov semakin mencuri perhatian publik karena rekam jejak kontroversialnya. Sebelumnya, pada 2015, ia terseret skandal “Papa Minta Saham” terkait PT Freeport Indonesia yang membuatnya mundur dari kursi Ketua DPR. 

Namun, ia kembali menjabat pada 2016 sebelum akhirnya tumbang karena kasus e-KTP.

Pada 24 April 2018, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, kewajiban mengganti kerugian negara sebesar USD 7,3 juta, serta pencabutan hak politik selama lima tahun. 

Putusan ini dikuatkan Mahkamah Agung pada 2019, dan Novanto resmi menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Meski dipenjara, namanya tetap muncul di media. Pada 2018, ia tertangkap kamera sedang berbelanja di toko bangunan saat seharusnya berada di penjara. 

Insiden ini memperkuat sorotan publik terhadap lemahnya pengawasan napi korupsi. Pada 2022, ia kemudian dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur yang memiliki pengamanan lebih ketat.

Kasus Setnov tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melukai kepercayaan masyarakat terhadap elite politik dan penegakan hukum. 

Skandal ini menjadi simbol betapa sulitnya memberantas korupsi di Indonesia, di mana hukum kerap dilawan dengan berbagai cara. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS