Menag Dorong Konsep Ekoteologi, Integrasi Kesadaran Lingkungan dan Pendidikan Agama

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar. (Foto: Dok. Menag)

PARBOABOA, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan komitmennya untuk mengintegrasikan kesadaran lingkungan dengan pendidikan agama di Indonesia melalui konsep ekoteologi.

Gagasan ini akan menjadi pendekatan baru yang memadukan nilai-nilai teologis dengan tanggung jawab menjaga kelestarian alam dalam kurikulum pendidikan keagamaan.

Menurut Nasaruddin, ekoteologi bukan sekadar materi tambahan, melainkan sebuah paradigma yang mengaitkan pandangan teologis-filosofis dalam ajaran agama dengan kesadaran ekologi.

Pendekatan ini diyakini mampu menjawab tantangan zaman, khususnya krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

“Sejak kecil kita harus belajar bagaimana menyelamatkan lingkungan kita,” ujarnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Menag dalam Diskusi Nasional Seri ke-50 yang digelar Vox Point Indonesia di Jakarta, dengan mengusung tema “Toleransi Bukan Tawaran, Tapi Kewajiban!”

Dalam forum ini, Menag menekankan bahwa isu lingkungan, toleransi, dan nasionalisme akan menjadi tiga fokus utama pengembangan pendidikan agama dan keagamaan di masa depan.

Menag menjelaskan bahwa integrasi ekoteologi ke dalam kurikulum agama bertujuan menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah.

“Pelestarian alam tidak hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari pengamalan ajaran agama,” tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa konsep ini penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga relevan untuk seluruh dunia.

Di banyak negara, termasuk negara-negara Timur Tengah, Nasaruddin melihat belum ada kurikulum keagamaan yang diawali dengan perspektif ekoteologi.

“Indonesia akan memulai program baru ini,” tambahnya, sambil berharap pendekatan ini dapat diterapkan secara holistik di semua jenjang pendidikan, tidak terbatas pada pendidikan agama saja.

Kurikulum Cinta

Selain soal lingkungan, Menag juga menyoroti isu intoleransi yang masih kerap muncul di masyarakat.

Menurutnya, penyelesaian masalah ini tidak cukup hanya mengandalkan regulasi formal atau undang-undang.

“Sebanyak apa pun undang-undang, tetapi kalau hati tidak berkomunikasi, tidak banyak artinya. Maka dari itu, saya kenalkan konsep baru, yaitu kurikulum cinta,” ungkapnya.

Bagi Nasaruddin, kerukunan sejati hanya bisa tercapai bila masyarakat memiliki keluhuran budi dan pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya masing-masing.

Ia menilai pendidikan harus menyentuh ranah emosional dan moral, bukan sekadar aspek kognitif.

Potret Intoleransi

Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjamin kebebasan beragama dan keberagaman.

Namun kenyataannya, masih ada kesenjangan antara norma di atas kertas dengan praktik di lapangan.

Salah satu contohnya terlihat saat umat Katolik mengadakan doa bersama di rumah-rumah pada Bulan Maria, Bulan Liturgi Nasional, dan Bulan Rosario.

Di daerah yang menjunjung tinggi toleransi, kegiatan tersebut berlangsung damai. Namun di wilayah lain, sering muncul kekhawatiran akan penolakan atau intimidasi dari kelompok tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan intoleransi belum sepenuhnya teratasi.

Melihat situasi tersebut, Vox Point Indonesia melalui Diskusi Nasional Seri ke-50 berupaya mengajak masyarakat untuk bersama-sama mencari akar masalah intoleransi dan merumuskan langkah nyata agar hal ini tidak terulang.

Dalam semangat menyambut HUT ke-80 Republik Indonesia, forum ini menegaskan bahwa toleransi adalah kewajiban moral yang harus dipegang teguh oleh seluruh anak bangsa.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS