PARBOABOA, Pematangsiantar – Sepanjang 2024, Indonesia mengalami penurunan jumlah kejadian bencana alam. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tercatat 2.107 kejadian bencana, berkurang dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5.400 kejadian.
Meski jumlah kejadian bencana menurun, dampak yang ditimbulkan tetap ada. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor masih mendominasi, menyebabkan kerusakan infrastruktur, mengungsi, dan korban jiwa.
Hingga Mei 2025, data sementara menunjukkan 999 kejadian bencana, dengan banjir menjadi yang paling dominan. Kejadian bencana ini sebagian besar disebabkan fenomena hidrometeorologi basah, seperti hujan deras disertai angin kencang, yang mengakibatkan kerusakan di berbagai daerah.
Jurnalisme Bencana menjadi salah satu materi dalam program Sekolah Jurnalisme Parboaboa. Materi ini disampaikan secara daring oleh jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ahmad Arif, pada Rabu pagi (3/6/2025).
Pelatihan ini bertujuan untuk memahami bagaimana meliput bencana secara empatik, etis, dan berbasis konteks, bukan sekadar mengejar kecepatan atau dramatisasi.
"Dalam meliput bencana, jurnalis harus memahami bahwa risiko selalu ada. Keselamatan diri tetap menjadi prioritas, karena tak ada tulisan yang sebanding dengan nyawa kita," terang Ahmad kepada peserta.
Ahmad menuturkan, kewajiban pertama seorang jurnalis bukanlah pada medianya, melainkan pada publik. Dalam konteks bencana, publik itu termasuk para korban yang terdampak langsung maupun masyarakat luas yang berhak mendapatkan informasi yang akurat dan berguna.
Prinsip ini, jelasnya, menjadi landasan etis yang harus dipegang teguh—terutama saat meliput peristiwa besar yang penuh muatan emosi. Alih-alih mengejar sensasi atau trafik, jurnalis dituntut hadir dengan kepekaan, memastikan bahwa liputan tidak melukai korban kedua kalinya melalui narasi yang tergesa atau eksploitasi penderitaan.
Dengan berpegang pada prinsip keberpihakan kepada publik, jurnalisme bencana bisa berperan lebih besar. Ia tak hanya menjadi pengabaran, tetapi juga bentuk solidaritas, advokasi, dan dorongan untuk perubahan. Liputan yang baik mampu memberi suara pada yang terdampak dan mendorong tanggung jawab para pengambil kebijakan.
Jurnalis juga, kata Ahmad, dapat berperan mengurangi risiko bencana dan meminimalkan korban dengan turut serta membangun literasi kebencanaan, terutama terkait mitigasi bencana.
"Jadi, setiap mau liputan dan menulis mesti bertanya pada diri sendiri: apa manfaatnya ini bagi publik? Elemen jurnalisme ini harus menjadi dasar etik yang dipegang agar tidak jatuh pada komodifikasi tragedi," terangnya pada Parboaboa, Rabu (4/6/2025).
Di tengah tekanan untuk menjadi yang tercepat, jurnalis muda bisa saja dihadapkan pada dilema antara mendahulukan kecepatan atau ketepatan, menulis menyentuh atau tetap objektif. Kebingungan ini wajar, apalagi dalam situasi bencana yang serba mendesak dan emosional.
Namun Ahmad menegaskan, dalam peliputan bencana, akurasi adalah fondasi utama. Informasi yang salah justru bisa memperkeruh keadaan dan membahayakan banyak pihak. Maka, memverifikasi fakta menjadi langkah awal yang tak boleh dilewati sebelum berpikir soal kecepatan.
Setelah akurasi terpenuhi, barulah aspek lain menyusul—kecepatan dalam menyampaikan informasi, kedalaman dalam menyusun konteks, serta empati dalam menarasikan penderitaan korban. Semua elemen itu penting, namun harus disusun dengan urutan yang etis dan bertanggung jawab.
"Dan satu hal yang paling penting untuk diingat para peserta adalah jurnalis bukan burung bangkai, yang hidup dari memakan mayat korban. Juga bukan burung gagak yang hanya mengabarkan kematian," tutupnya.
Memahami Jurnalisme Bencana
Salah peserta, Ristaruli Aritonang (22), lulusan Administrasi Niaga dari Politeknik Negeri Medan, mengaku bahwa bagian yang paling membuka wawasan setelah menyimak materi ini adalah pentingnya sensitivitas dan empati dalam meliput bencana.
"Sebagai calon jurnalis, saya selama ini lebih fokus pada aspek fakta dan kecepatan pelaporan, tetapi materi ini menekankan kalau jurnalisme juga soal menghormati rasa duka dan trauma para korban," katanya, Rabu (4/6/2025).
Ia jadi lebih sadar bahwa cara bertanya, memilih narasumber, hingga menyusun narasi bisa berdampak besar terhadap pemulihan psikologis masyarakat terdampak.
Setelah mengikuti kelas ini, hal yang akan diubahnya adalah pendekatan dalam menulis berita, khususnya tentang isu-isu yang menyangkut kemanusiaan. Rista akan lebih berhati-hati dalam memilih angle dan bahasa, serta memastikan bahwa tulisannya tidak bersifat sensasional atau mengeksploitasi penderitaan.