PARBOABOA, Jakarta - Dua puluh satu tahun sejak kematian Munir Said Thalib dalam penerbangan menuju Belanda, tuntutan keadilan atas kematian aktivis HAM itu belum juga tuntas.
Kini, desakan publik kembali menguat, dengan batas waktu tegas yang mereka ajukan: 8 Desember 2025, kasus Munir harus resmi ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Ratusan massa aksi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sahabat Munir, serta aktivis HAM berkumpul di depan kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Senin (8/9/2025),
Mereka membawa spanduk, poster, dan seruan lantang agar lembaga negara itu tidak lagi menunda penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Dalam orasi yang memanaskan suasana, Dimas dari KontraS menegaskan bahwa publik tak boleh lagi memberi ruang bagi Komnas HAM untuk mengulur waktu.
Menurutnya, dua dekade penantian telah cukup membuktikan bahwa keadilan bagi Munir selalu digantungkan pada janji-janji yang tak pernah ditepati.
“Tanggal 8 Desember harus ada pernyataan resmi,” serunya, sambil mengajak massa untuk terus mengawasi proses yang tengah berjalan.
Janji Ketua Komnas HAM
Tuntutan keras itu langsung direspons Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, yang menemui massa di depan kantornya.
Dengan nada serius, ia menyatakan komitmennya untuk menuntaskan penyelidikan. Bahkan, ia bersedia mundur jika Komnas HAM gagal menyelesaikan penyelidikan hingga batas waktu yang ditetapkan.
“Silakan dicatat, jika sampai 8 Desember belum selesai, saya siap mundur,” tegasnya.
Anis mengakui bahwa proses penyelidikan sejak awal 2023 memang berjalan rumit, namun ia memastikan upaya pencarian fakta terus dilakukan.
Pernyataan Anis tak lepas dari kesadaran bahwa penundaan ini sudah terlalu lama menyakiti keluarga korban.
Selama 21 tahun, istri Munir, Suciwati, beserta anak-anaknya, terus menanggung luka akibat kehilangan.
Begitu pula masyarakat sipil yang sejak awal tak pernah berhenti menuntut keadilan.
“Kami minta maaf atas kekecewaan ini,” kata Anis, menambahkan bahwa Komnas HAM akan berupaya memberi jawaban yang selama ini ditunggu publik.
Unjuk rasa kali ini digelar bertepatan dengan 21 tahun wafatnya Munir. Spanduk bertuliskan “Munir Diracun di Udara”, “Ingatan Adalah Senjata”, hingga “21 Tahun Munir” mewarnai jalanan Menteng.
Poster-poster itu bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan juga pengingat bahwa seorang pembela hak asasi manusia dibungkam dengan cara paling keji, dan hingga kini pelaku intelektualnya belum pernah tersentuh hukum.
Kronologi Kematian Munir
Kisah tragis Munir bermula pada 6 September 2004, saat ia terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi pascasarjana.
Pesawat Garuda Indonesia GA 974 yang ditumpanginya sempat transit di Changi, Singapura, sebelum kembali lepas landas menuju Amsterdam.
Dalam perjalanan, Munir mendadak jatuh sakit, hingga akhirnya dipindahkan ke dekat seorang dokter.
Namun, pada 7 September 2004 pukul 08.10 waktu setempat, di ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania, nyawanya tak tertolong. Ia meninggal dalam keadaan sehat ketika berangkat, namun pulang tinggal nama.
Setibanya di Amsterdam, jenazah Munir diautopsi pemerintah Belanda. Hasilnya mengejutkan: ditemukan arsenik dalam dosis fatal di tubuhnya.
Kabar itu kemudian sampai ke keluarga lewat pemberitaan media Belanda, bukan dari pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu, publik kian yakin bahwa Munir bukan meninggal biasa, melainkan korban pembunuhan terencana.
Sejak November 2004, Suciwati bersama LSM HAM terus menuntut agar hasil autopsi dibuka dan investigasi independen dibentuk.
Demonstrasi demi demonstrasi digelar di berbagai daerah, mendesak negara agar mengusut tuntas dalang pembunuhan Munir.
Desakan publik akhirnya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru dilantik saat itu, membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) pada 23 Desember 2004.
TPF kemudian mengungkap sejumlah temuan mengejutkan. Mulai dari dugaan pemalsuan surat penugasan Pollycarpus, pilot Garuda yang disebut dekat dengan Badan Intelijen Negara (BIN), hingga data percakapan yang mengaitkannya dengan Muchdi Purwoprandjono.
Indikasi adanya kejahatan konspiratif kian kuat. Namun, meski Pollycarpus akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, dan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dihukum setahun, aktor-aktor besar di balik layar pembunuhan Munir tak tersentuh hukum.
Kasus Munir kemudian menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi pembela HAM. Pollycarpus, yang semestinya bebas pada 2022, justru keluar lebih cepat lewat remisi pada 2014, dan tetap menolak mengakui dirinya sebagai pembunuh.
Sementara itu, BIN yang sejak awal disebut-sebut terlibat, lolos dari jeratan hukum. Hingga kini, nama Munir tetap menjadi pengingat bahwa perjuangan menegakkan HAM di Indonesia masih panjang dan penuh rintangan.