PARBOABOA, Jakarta – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang digelar di Anchorage, Alaska, berakhir tanpa kesepakatan berarti.
Pertemuan yang sempat digadang-gadang akan membuka jalan menuju penghentian perang di Ukraina itu justru ditutup dengan pernyataan normatif, tanpa adanya komitmen gencatan senjata maupun kerangka diplomasi yang jelas.
KTT ini berlangsung dengan pengamanan super ketat. Saat Trump dan Putin melangkah menuju ruang pertemuan, langit Anchorage mendadak diramaikan oleh atraksi formasi pesawat siluman F-35 dan B-2 Spirit milik Angkatan Udara AS.
Manuver militer itu disebut sebagai simbol kekuatan sekaligus peringatan halus bahwa Washington tetap memegang posisi tawar yang keras terhadap Moskow.
Meski Trump sempat menjelaskan atraksi tersebut, Putin terlihat dingin dan tidak menunjukkan respons berarti. Ia juga menolak mengomentari manuver itu di hadapan pers.
Para analis menilai, unjuk kekuatan itu lebih dari sekadar pertunjukan militer—ia menjadi panggung psikologis yang menegaskan dominasi Amerika Serikat di balik diplomasi yang tengah berlangsung.
Banyak pihak sebelumnya berharap KTT Alaska mampu membuka jalan menuju de-eskalasi konflik. Namun, hasil akhirnya justru mengecewakan.
Trump hanya menyebut pertemuan tersebut “produktif dalam membangun saling pengertian,” sementara Putin menekankan pentingnya “dialog berkelanjutan.”
Kedua pemimpin gagal menyepakati gencatan senjata, pelepasan wilayah yang diduduki Rusia, maupun peta jalan perdamaian.
Perbedaan tajam muncul ketika Putin tetap menuntut pengakuan internasional atas wilayah yang direbut Rusia, sedangkan Ukraina menolak keras tuntutan itu.
Kyiv dengan tegas menyatakan bahwa tanpa keterlibatan langsung mereka, semua kesepakatan diplomatik tidak memiliki legitimasi.
Reaksi Ukraina dan Dunia Internasional
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, merespons dengan tegas. Ia menegaskan, “tanpa Ukraina, tidak ada damai,” sambil menyerukan dukungan lebih besar dari negara-negara Barat. Uni Eropa dan NATO juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kegagalan KTT ini justru memberi ruang lebih luas bagi Rusia untuk melanjutkan agresinya di medan perang.
Kekecewaan global pun semakin nyata. Banyak analis menilai, upaya diplomasi ad-hoc yang digagas Trump hanya memperdalam skeptisisme publik internasional.
Tanpa adanya mekanisme multilateral yang melibatkan Kyiv secara langsung, peluang terciptanya perdamaian tetap akan jauh dari kenyataan.
KTT Trump–Putin di Alaska berakhir tanpa terobosan berarti, hanya menyisakan citra simbolis dua pemimpin dunia yang berbincang di bawah pengawalan pesawat siluman Amerika.
Alih-alih mendekatkan jalan menuju perdamaian, pertemuan ini justru menegaskan dalamnya jurang perbedaan antara Washington, Moskow, dan Kyiv.
Sementara itu, perang Ukraina masih terus berlanjut tanpa kepastian kapan akan berakhir.