Kontroversi Proyek Geotermal Gunung Lawu: Antara Pelestarian Alam dan Ambisi Energi Hijau

Panorama alam Gunung Lawu yang diisukan akan menjadi salah satu lokasi proyek panas bumi (geotermal) (Foto: dok. Salsa Wisata)

PARBOABOA, Jakarta - Penolakan terhadap rencana eksploitasi panas bumi (geotermal) di kawasan Gunung Lawu, Karanganyar semakin meluas. 

Forum Rakyat Peduli Gunung Lawu (FR-PGL) yang tergabung dalam gerakan Jaga Lawu kembali menegaskan sikap tegasnya untuk menolak proyek tersebut. 

Mereka menilai bahwa eksploitasi panas bumi di wilayah konservasi berpotensi mengganggu ekosistem sekaligus mengancam warisan budaya dan spiritual masyarakat setempat.

Aan Shopuanuddin, aktivis senior Jaga Lawu, menyebut “gerakan ini tidak hanya menolak proyek panas bumi, tetapi juga seluruh bentuk eksploitasi yang dapat mengganggu keseimbangan alam di Gunung Lawu.” 

Ia juga menjelaskan bahwa meskipun energi panas bumi kerap dipromosikan sebagai energi ramah lingkungan, warga sekitar masih cemas terhadap efek bawah tanah yang ditimbulkan oleh proses fracking.

Proses ini dikenal sebagai metode pengeboran dengan cara menyuntikan air bertekanan tinggi ke lapisan bumi sehingga dikhawatirkan merusak struktur tanah. 

Aan mencontohkan bahwa penyemprotan air bertekanan bisa menembus rekahan bawah tanah dan berpotensi menimbulkan kerusakan yang tidak tampak di permukaan.

Selain persoalan ekologis, Aan menyoroti risiko terhadap situs-situs sejarah seperti Candi Sukuh dan Candi Ceto yang terletak di lereng Lawu. 

Ia mengingatkan bahwa “jika eksplorasi dilakukan di wilayah Jenawi, peninggalan budaya yang tak ternilai itu bisa terancam rusak atau bahkan hilang.”

FR-PGL bersama jejaring masyarakat dari Karanganyar, Ngawi, hingga Magetan kini aktif membangun komunikasi untuk mengawal isu ini. 

Mereka juga berencana menggelar kegiatan edukatif agar publik memahami secara menyeluruh potensi dampak dari proyek geothermal tersebut. 

Aan menegaskan pihaknya tetap berpegang pada komitmen menolak segala bentuk eksploitasi di Gunung Lawu.

Penjelasan ESDM

Menanggapi penolakan masyarakat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya memberikan klarifikasi. 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menegaskan proyek panas bumi itu tidak terletak di kawasan inti Gunung Lawu, melainkan di wilayah Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.

Ia memastikan bahwa Gunung Lawu tidak termasuk dalam Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) karena pemerintah telah menghapus daerah-daerah yang dianggap sakral dari daftar tersebut. 

Menurutnya, “setiap kawasan yang memiliki nilai spiritual tinggi atau mengandung unsur sakral telah dikeluarkan dari area kerja panas bumi.”

Eniya juga menambahkan bahwa pemerintah berupaya memperhatikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam setiap proyek energi baru terbarukan. 

Ia mencontohkan, “pada proyek serupa di Gunung Hamiding dan Bonjol, proses pengeboran bahkan disesuaikan dengan waktu ritual adat, misalnya pemilihan hari baik atau doa yang dilakukan pada tengah malam.”

Sebelumnya, pada The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta, Rabu (17/9/2025), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan pembukaan lelang sepuluh wilayah panas bumi di seluruh Indonesia. 

Lelang tersebut mencakup tiga WKP dan tujuh Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE). Ia menegaskan bahwa seluruh proses akan dilakukan secara terbuka dan akuntabel bagi para calon investor.

Bahlil menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam mendorong reformasi regulasi serta percepatan investasi di sektor energi hijau. 

Total kapasitas dari proyek-proyek tersebut mencapai sekitar 350 megawatt dengan nilai investasi diperkirakan sebesar 1,99 miliar dolar AS, serta berpotensi membuka lapangan kerja bagi lebih dari 1.500 orang.

Salah satu proyek yang termasuk dalam lelang tersebut adalah wilayah Jenawi di Jawa Tengah dengan kapasitas awal sekitar 86 megawatt. 

Namun, pemerintah menegaskan bahwa kegiatan eksplorasi tidak akan dilakukan di dalam kawasan konservasi Gunung Lawu, melainkan di area yang telah ditetapkan sebagai zona non-sensitif.

Kepentingan Energi vs Kelestarian Alam

Kendati sudah ada klarifikasi dari pemerintah, sebagian masyarakat tetap cemas bahwa proyek ini bisa menjadi pintu masuk bagi aktivitas eksploitasi yang lebih luas di kawasan Gunung Lawu. 

Bagi gerakan Jaga Lawu, persoalan ini bukan hanya terkait energi, melainkan tentang menjaga keseimbangan ekologis dan menghormati nilai-nilai budaya yang telah berakar selama berabad-abad.

Sementara itu, pemerintah tetap menegaskan pentingnya pengembangan energi panas bumi sebagai bagian dari transisi menuju sumber energi bersih dan berkelanjutan. 

Tantangan terbesar ke depan adalah memastikan keseimbangan antara pembangunan energi hijau dan pelestarian alam, agar Gunung Lawu tetap menjadi simbol harmoni spiritual dan ekologis bagi masyarakat sekitarnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS