Keotentikan Video Parapat 1956-1957 dan Kerusakan Alam Danau Toba

Dari Pulau Samosir mereka menyeberang (Foto: video Parapat 1956-1957 di FB)

PARBOABOA, Jakarta - Dua kapal kayu sarat manusia sedang merapat ke dermaga. Sebuah solu [sampan kecil] berawak tunggal tampak di sisi kanan. Syot kemudian berpindah ke adegan penumpang berturunan dan mereka yang sebaliknya mendekat ke angkutan itu. Tokoh utama, dua perempuan bule yang salah satunya menggendong bayi berjalan menuju onan [pasar] sebelum tampak nenas ranum menghampar.

Itulah bagian pembuka dari tayangan berdurasi 2,1 menit yang dihadirkan Indonesa Masa Lampau  di media sosial pada 13 Juni 2025. Keindahan dan kelestarian alam Danau Toba begitu mengemuka di sana.

Postingan tersebut memunculkan 331 komentar, saat catatan ini kutulis. Nadanya? Seperti biasa: mulai dari yang menghargai hingga yang sembari  merendahkan. Ada yang serius menyahuti dan ada pula yang asal ngomong. Ya, namanya juga pasar bebas kaum netizen. Aku mau membicarakan beberapa hal saja ihwal rekaman lawas ini.

Tayangan ini  asli hasil rekaman, bukan olahan menggunakan kecerdasan buatan alias AI seperti  anggapan netizen tertentu. Siapa saja yang akrab dengan dunia fotografi dan videografi akan mudah mengidentifikasinya. Kealamiahan obyek dan kemulusan gerakan manusia-manusia yang diabadikan menjadi penanda utama.

Yang  perlu kita pertanyakan adalah warnanya. Aslinya hitam-putihkah atau sudah diwarnai? Kedua kemungkinan sama terbukanya. 

Sebagai catatan, video berwarna pertama dihasilkan Edward Turner di Amerika pada 1901. Namun, pengembangannya sangat lambat. Begitupun, warga negeri Paman Sam sudah mengenal TV berwarna sedari penghujung 1930-an.

Di Indonesia sendiri teknologi video sudah dikenal sejak masa sebelum kemerdekaan. Tayangan-tayangan dari masa itu yang bisa kita saksikan di YouTube sekarang dihasilkan dengan memakai teknologi tersebut, selain dengan kamera film layer lebar. Pembuatnya adalah instansi, awak TV atau kru film profesional, dan kaum penyuka. Adapun tayangan Parapat 1956-1957, ini kemungkinan besar diproduksi oleh keluarga bule yang sedang pesiar tersebut. Bahwa mereka melibatkan orang yang mengeti sinematografi, itu  bisa saja.

Jelaslah bahwa karya ini dibuat dengan kamera video atau film, bukan dengan AI. Bisa jadi aslinya hitam-putih yang kemudian diwarnai lewat proses coloring.

Pertanyaan berikutnya ihwal seting yakni locus (tempat) dan tempus (waktu).

Terang,  lokasinya adalah kitaran kota turis bernama Parapat. Aku tahu persis karena diriku lahir dan besar di sana.  Tempat keramaian itu tak lain dari Pokkan [Pekan] Tigaraja. Memang begitulah atmosfir di sana saban hari pasaran utama, Sabtu, terlebih saat kapal-kapal dari Pulau Samosir dan pinggir Danau Tona lainnya sedang merapat.  Lapak minyak (BBM) kami sepelemparan batu saja dari dermaga itu. Masih bocah, di tahun 1970-an diriku sudah bertugas mengurusinya dan itu berakhir di tahun 1981 tatkala aku meneruskan sekolah ke Bandung.

bus legendaris pmh

PMH, bus lagendaris yang masih bertahan hingga kini. (Foto: video Parapat 1956-1957 di FB)

Lokasi syuting lainnya adalah lintasan dari Hotel Parapat—beroperasi sejak 1920-an, kini menjadi Khas Hotel—hingga Tekongan Berbahaya. Jalannya memang sudah rapih beraspal sedari zaman Hindia Belanda. Menjadi tempat rehat para pembesar perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming) Eropa, sejak tahun 1920-an di kota kecil terdapat sejumlah bungalow dan vila milik orang asing.

Lintasan menuju Pematang Siantar yang jauh di bawahnya menghampar Sibaganding dan Panahatan yang berbibirkan Danau Toba menjadi tempat pengambilan gambar juga.  ‘Panatapan’, itulah sebutan populernya sekarang.

Lantas, tahun berapa video ini dihasilkan? Linimasa 1956-1957 masuk akal. Cara berpakaian orang-orang lokal yang tampak dalam gambar antara lain petunjuknya. Kaum prianya banyak yang berpantalon dan berjas. Ada  pula dari mereka yang mengenakan peci dan bergesper besar. Berpeci merupakan kebiasaan lelaki Batak di zaman baheula; hingga dekade1970-an masih demikian.

Adapun kaum  perempuannya, mereka gemar  berbaju kurung (kebaya panjang). Seperti saat berkebaktian di gereja, kaum dewasa ini cenderung berpakaian resmi tatkala  maronan [berbelanja atau berjualan] atau manopot tondong  [menjenguk keluarga] di Sumatra Timur atau Medan.

Sampai tahun 1980-an pun keresmian pakaian saat maronan di Tigaraja ini masih berlanjut. Masih kuingat, umpamanya, bagaimana penampilan dua kakekku bermarga Gultom (adik kandung Hini Gultom yang melahirkan ayahku) setiap hadir di Tigaraja pada Sabtu. Berpeci hitam, berjas, bersarung, dan bersendal kulit penguasa asal Silimalombu dan Abbula, Pulau Samosir. Adapun istrinya, mereka berkebaya dan berkain yang serba apik. Seperti ke kondangan saja pembawaannya kendati tujuan utamanya adalah bertransaksi di pasar.

Tigaraja merupakan pusat perdagangan utama di kitaran Danau Toba hingga tahun 1980-an. Parapat sendiri, kota kecil yang menjadi induknya, masih menjadi tiga besar destinasi wisata Nusantara bersama Bali dan Yogyakarta. Tomok dan Tuktuk Siadong belum banyak dikenal pelancong terutama yang dari dalam negeri di masa itu. Feri belum ada—KM Tao Toba beroperasi mulai 1986—sehingga Pulau Samosir tempat kedua kampung ini berada masih terisolir. Keadaan sekarang sudah sangat lain. Pulau Samosir menjadi destinasi utama turis sedangkan Parapat cenderung menjadi tempat transit belaka.

Petunjuk lain dari kelawasan video ini adalah sosok bus PMH, bus PMD, dan truk  yang tampak. Di tahun 1970-an PMD sudah tak beroperasi di Tigaraja.   Aku sendiri baru mengetahui adanya angkutan tersebut setelah melihat video ini. Adapun PMH, sampai sekarang masih bisa kita temukan di jalanan Sumatra Utara dan Riau. Model robur (bentuknya laksana roti tawar)  seperti PMH nomor 40 yang tampak di video ini masih beredar di tahun 1970-an pun. Demikian juga mobil Fargo yang dinaiki rombongan turis bule tersebut.

Persatuan Motor Horas (PMH) mengada di awal 1950-an. Pendirinya adalah Justin Sirait (abang kandung ayahku), Nelson Odol Purba, dan seorang pebisnis bermarga Samosir yang bermukim di Tiga Balata. Dua yang pertama merupakan warga Parapat kala itu.

warga asing pelanbuhan

Warga asing di Pelabuhan Tigaraja. (Foto: video Parapat 1956-1957 di FB)

Ayahku. Maruhum Sirait, terbilang awak perdana PMH. Bekerja di bus milik abangnya, dari seorang kenek, ia lantas berpromosi menjadi sopir setelah beberapa tahun lampau. Tatkala menikahi ibuku, Sorta Hutapea, pada 1955 statusnya telah menjadi ‘supir lama’. Dengan bus PMH nomor 55 yang sekian lama dikemudikannyalah  rombongan mempelai laki-laki yang berasal dari kitaran Ajibata-Parapat bertolak ke Tarutung untuk meramaikan pesta pernikahan dirinya hari itu. 

Saat diriku masih bocah, rumah yang kami kontrak di ujung bawah Siburakburak—dekat kedai kopi terkenal B’Karo—masih merangkap kantor PMH. Di dalamnya terdapat telepon yang setiap hendak digunakan mesti lewat  operator di ‘sentral’ yang terletak di sebelah penginapan Tenera.  Setiap bus yang akan bertolak ke Siantar akan direpas—muatannya diperiksa—di seberangnya, di depan Rumah Tua yang brsebelahan dengan Toko Kue Rasmin dan B’Karo.

Penghancuran Alam

Komentator video Parapat 1956-1957 banyak yang memuji keelokan dan keterjagaan alam Danau Toba yang mereka saksikan dalam tayangan. Pada sisi lain, mereka menyayangkan keadaan yang sudah sangat lain saat ini. Tentu saja penilaian mereka berdasar.

petunjuk kota parapat

Petunjuk kota. (Foto: video Parapat 1956-1957 di FB)

Saat diriku pindah ke Bandung tahun 1981 untuk meneruskan sekolah, alam kitaran danau yang merupakan hasil letusan super vulcano Toba sekitar 70 ribu tahun silam ini masih lestari betul. Wajarlah kalau turis dari Eropa, Amerika, dan Jepang berdatangan terus untuk melongoknya.

Perusakan secara terstruktur, sistematis, dan masif—meminjam istilah Prabowo Subianto di zaman pemilihan presiden—terjadi setelah perusahaan bubur kertas milik pengusaha Sumut, Sukanto Tanoto, PT Inti Indorayon Utama, mulai beroperasi pada 1 April  1989. Membabati kayu-kayu di hutan raya termasuk di Harangan Ganjang—lintasan Parapat-Siantar—yang dilakukannya setiap hari.

Deforestasi dan pembalakan pun berlangsung sampai hari ini oleh korporasi yang telah bertukar nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL ,sejak 1 September 2000). Perlawanan oleh masyarakat sekitar dan NGO pendampingnya  masih berlanjut kendati apinya cenderung kian mengecil setelah puluhan tahun lampau.

TPL a.k.a [yang juga dikenal sebagai] Indorayon jelas merupakan perusak utama kawasan Danau Toba. Tapi, mereka bukanlah penjahat alam satu-satunya. Masih ada perusahaan Swiss penernak ikan secara masif di sana yakni PT Aqua Farm yang kini telah berganti nama menjadi PT Royal Spring. Setiap hari tak kurang dari 1 ton pelet yang mereka taburkan ke danau dan sebagian darinya menjadi sedimen kimia yang merusak ekosistem danau. Seperti Toba Pulp Lestari, Royal Spring  juga penamaan yang ironis sekaligus karikatural sebab yang mereka lakukan saban hari justru hal yang sangat berkebalikan.

Pemilik keramba di sana bukan hanya Royal Spring melainkan banyak kalangan termasuk pebisnis lokal dan investor dari luar kota. Di Parapat dan Haranggaol antara lain mereka beternak ikan.

Pencemar lain masih ada. Termasuk perusahaan peternakan babi yang membuang limbahnya ke danau. Belum lagi hotel, restoran, kafe, warung, dan rumah tangga yang selama ini memperlakukan tao [danau] tak ubahnya jamban raksasa.

Danau Toba yang sangat gigantik dan dahsyat secara apa pun sesungguhnya merupakan jantung dan pemersatu bangso Batak. Oleh sebab itu, etnik penghasil sarjana terbanyak di Indonesia (secara proporsi populasi)  ini seyogyanya  menjaga betul warisannya yang sangat luar biasa. Nyatanya tidak demikian; jauh nian panggang dari api.

Entah mengapa pragmatisme dan ketakpedulian telah mendekapnya  sekian lama sehingga hasrat untuk mengalihtangankan ke generasi berikutnya warisan alam yang sangat spesial dan merupakan situs geologi terkemuka dunia  tak terpikirkan mereka lagi. Orang Batak masih sibuk berebut remah-remah dari TPL sementara sang pemilik korporasi telah menjadi bagian dari orang terkaya sejagat setelah puluhan tahun lampau berkat konsesi puluhan ribu hektar yang diberikan rezim Soeharto kepadanya di awal dekade 1980-an.

turis dana  toba

Turis yang sedang mereguk karunia alam Toba. (Sumber foto: video Parapat 1956-1957).

Selama ini ketertididikan bangso Batak seakan tak berkorelasi langsung dengan keadaban yang salah satu wujudnya adalah kepedulian pada alam lestari negeri leluhurnya [bona pasogit]. Sungguh ironis, tentunya.  Untung saja api kesadaran kini mulai berkobar lagi terutama setelah Eforus HKBP Victor Tinambunan dan para sejawatnya sesama pemuka agama ikut berseru “Tutup TPL!”

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS