Iran Tetapkan Warga AS sebagai Target Sah, Dunia Hadapi Ancaman Perang Global

Beberapa bangunan milik pemerintah Iran yang tampak rusak akibat serangan pasukan Israel (Foto: Website Unair)

PARBOABOA, Jakarta - Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat kembali mencapai titik didih setelah serangan militer AS menghantam tiga situs nuklir strategis di wilayah Iran pada Minggu (22/6/2025). 

Menanggapi serangan tersebut, televisi pemerintah Iran mengumumkan bahwa seluruh warga negara AS, termasuk personel militernya yang berada di kawasan, kini dianggap sebagai "target yang sah."

Pernyataan ini memperkuat sinyal bahwa Iran tidak akan tinggal diam dalam menghadapi agresi militer AS, sekaligus menunjukkan potensi eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah yang memanas akibat perang antara Iran dan Israel.

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, sejak Rabu (18/6/2025) telah memperingatkan AS agar tidak terlibat secara langsung dalam konflik antara Iran dan Israel. Keterlibatan militer AS dinilainya hanya akan memperparah situasi.

"Kerugian yang akan diderita AS pasti tidak akan dapat diperbaiki jika mereka memasuki konflik ini secara militer," ujar Khamenei dalam pernyataan yang dikutip dari Anadolu, Minggu (22/6/2025).

Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi negaranya telah bergabung secara aktif dengan Israel dalam operasi militer terhadap Iran. 

Ia menyebut bahwa serangan yang dilakukan merupakan "sukses besar" dan berhasil melumpuhkan tiga situs nuklir utama, yakni Fordo, Natanz, dan Esfahan.

"Kami telah menyelesaikan serangan yang sangat sukses terhadap tiga situs nuklir di Iran," tulis Trump di platform Truth Social pada Sabtu (21/6/2025).

Trump bahkan mengklaim bahwa fasilitas-fasilitas tersebut kini telah hancur total akibat serangan presisi tinggi yang diperintahkan oleh militer AS.

Dalam pernyataan lanjutan yang disiarkan secara nasional, Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Iran agar tidak melancarkan serangan balasan.

Ia menegaskan bahwa setiap upaya pembalasan dari Teheran akan dibalas dengan kekuatan yang lebih besar.

"Iran, negara penindas di Timur Tengah, sekarang harus berdamai. Jika tidak, serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan jauh lebih mudah," kata Trump.

Presiden AS ke-47 itu menegaskan bahwa konflik tersebut tidak bisa terus berlanjut. "Akan ada perdamaian atau akan ada tragedi bagi Iran, jauh lebih besar dari yang telah kita saksikan selama delapan hari terakhir."

Menanggapi serangan dan potensi pembalasan dari Iran, militer Israel secara terpisah telah meningkatkan status siaga di dalam negeri. 

Langkah-langkah pengamanan seperti penangguhan aktivitas pendidikan, pelarangan pertemuan publik, serta penghentian kegiatan non-esensial mulai diberlakukan.

Dengan Iran yang secara terbuka mengancam warga sipil dan militer AS, dan Trump yang terus memprovokasi lewat pernyataan kerasnya, situasi Timur Tengah kini memasuki fase baru yang jauh lebih berbahaya. 

Ketegangan ini tidak hanya mengancam stabilitas regional, tetapi juga membuka risiko konflik berskala luas yang bisa menyeret aktor global lainnya ke dalam pusaran kekerasan.

Reaksi Global

Di tengah memanasnya konflik antara Iran dan Israel, langkah sepihak Washington menimbulkan beragam reaksi dari para pemimpin dunia, mulai dari pujian, kecaman, hingga seruan keras untuk meredakan ketegangan.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjadi salah satu pemimpin yang menyatakan dukungannya secara terbuka dengan menyebut keputusan Presiden Trump sebagai "tindakan berani dan menentukan." 

Netanyahu menilai serangan ini sebagai langkah penting untuk mencegah rezim paling berbahaya di dunia yang memperoleh senjata paling mematikan.

Namun, tidak semua pihak menyambut baik langkah tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyampaikan kekhawatiran mendalam terhadap dampak serangan. 

Ia menyebut serangan tersebut sebagai “eskalasi berbahaya di wilayah yang sudah di ambang batas, dan ancaman langsung terhadap perdamaian dan keamanan internasional.” 

Guterres memperingatkan bahwa konflik ini dapat dengan cepat lepas kendali dan berujung pada bencana kemanusiaan yang lebih besar. 

Ia menyerukan negara-negara anggota PBB untuk menjunjung tinggi Piagam PBB serta hukum internasional, dan menegaskan bahwa tidak ada solusi militer atas konflik ini.

Seruan senada datang dari Selandia Baru. Menteri Luar Negeri Winston Peters menekankan pentingnya menghindari eskalasi dan mengembalikan fokus kepada perundingan damai. 

Menurutnya, diplomasi akan memberikan resolusi yang lebih langgeng dibandingkan aksi militer. 

Pemerintah Australia turut menyuarakan keprihatinan terhadap situasi yang berkembang, meskipun tetap menyatakan bahwa program nuklir dan rudal balistik Iran merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. 

Gelombang kecaman lebih keras datang dari negara-negara Amerika Latin. Pemerintah Venezuela melalui Menteri Luar Negeri Yvan Gil, misalnya mengutuk keras serangan yang dinilainya sebagai agresi militer AS atas permintaan Israel. 

Gil menyebut pemboman terhadap fasilitas nuklir Fordo, Natanz, dan Isfahan sebagai pelanggaran serius terhadap kedaulatan Iran. 

Sikap yang sama juga dinyatakan Presiden Kuba, Miguel Diaz-Canel, yang menilai tindakan AS sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap Piagam PBB dan hukum internasional. 

Ia memperingatkan bahwa tindakan tersebut berpotensi menyeret umat manusia ke dalam krisis global dengan dampak yang tak dapat diubah.

Sementara itu, Meksiko memilih menyuarakan jalur diplomasi sebagai solusi utama. 

Melalui pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, Meksiko mendesak semua pihak untuk segera memulai dialog damai demi meredakan ketegangan dan memulihkan koeksistensi di kawasan Timur Tengah.

Dalam situasi yang terus berkembang, nasib stabilitas Timur Tengah kini berada di persimpangan antara spiral kekerasan atau jalan damai yang penuh tantangan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS