PARBOABOA, Jakarta - Rencana pembentukan family office di Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menolak penggunaan dana APBN untuk proyek yang digagas oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan.
Gagasan yang disebut-sebut mampu menarik ratusan miliar dolar investasi asing ini justru menuai perdebatan, terutama karena belum jelasnya konsep serta mekanisme pembiayaannya.
Walau demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan keberatannya terhadap penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek tersebut.
“Saya belum terlalu ngerti konsepnya, walaupun Pak Ketua DEN sering bicara. Tapi saya belum pernah lihat apa sih konsepnya,” ujar Purbaya di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (13/10/2025).
Penolakan Purbaya menegaskan belum adanya kejelasan konsep serta payung hukum yang mengatur family office di Indonesia.
Padahal, gagasan yang pertama kali digaungkan sejak 2024 itu sempat disebut-sebut sebagai terobosan ekonomi baru untuk menarik dana global dari kalangan superkaya dunia.
Konsep Family Office
Secara sederhana, family office merupakan lembaga keuangan swasta yang dibentuk oleh keluarga-keluarga ultra kaya (high-net-worth individuals) untuk mengelola aset, investasi, serta perencanaan keuangan lintas generasi.
Di negara maju seperti Singapura, Swiss, dan Hong Kong, family office berperan penting dalam menjaga stabilitas investasi jangka panjang dan menjadi pintu masuk dana triliunan dolar dari berbagai penjuru dunia.
Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Ketua DEN sekaligus penggagas ide ini, menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi magnet bagi dana global tersebut.
Ia menjelaskan, konsep family office di Indonesia akan memungkinkan orang super kaya menyimpan dananya di dalam negeri, namun dengan kewajiban berinvestasi pada proyek strategis nasional.
“Mereka tidak dikenakan pajak, tapi harus investasi. Dan dari hasil investasi itu nantinya akan kita pajaki,” ujar Luhut melalui akun Instagram resminya, @luhut.pandjaitan, Senin (1/7/2024).
Skema dan Dampak Ekonomi
Menurut Luhut, mekanismenya sederhana: dana dari investor besar, berkisar antara 10 juta hingga 30 juta dolar AS per entitas, akan ditempatkan di Indonesia.
Dana tersebut kemudian digunakan untuk membiayai proyek-proyek seperti hilirisasi industri, budidaya rumput laut (seaweed), hingga pengembangan energi hijau.
Dengan demikian, dana yang masuk tidak hanya memperkuat cadangan devisa nasional, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Luhut menilai langkah ini akan menempatkan Indonesia sejajar dengan pusat family office dunia seperti Hong Kong dan Singapura.
“Kita punya banyak peluang, dan peluang ini harus diambil agar Indonesia yang diuntungkan,” ujarnya optimistis.
Sementara eks Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, menambahkan bahwa pembentukan family office bersifat sukarela, namun berpotensi mendatangkan dana kelolaan yang sangat besar.
Pemerintah, kata Sandiaga, menargetkan Indonesia dapat menarik sekitar 5 persen dari total dana kelolaan family office global yang mencapai 11,7 triliun dolar AS.
Artinya, potensi dana yang bisa masuk ke Indonesia mencapai sekitar 500 miliar dolar AS dalam beberapa tahun mendatang.
“Kalau Indonesia bisa menarik 5 persen saja, itu sudah 500 miliar dolar AS. Ini peluang besar yang sedang dikaji lintas sektor,” ujar Sandiaga usai rapat dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2024).
Luhut Pusat Family Office
Gagasan family office pertama kali disampaikan Luhut ketika masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam Kabinet Indonesia Maju.
Dalam ajang World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua, Bali, pada pertengahan Mei 2024, Luhut mengusulkan agar Bali dikembangkan menjadi pusat family office seperti Singapura dan Hong Kong.
“Kami dorong Bali ini menjadi hub untuk family office,” kata Luhut dalam pidatonya di sela acara WWF, Sabtu (18/5/2024).
Beberapa bulan kemudian, tepatnya Juli 2024, Luhut mengklaim bahwa sudah ada sejumlah konglomerat internasional yang tertarik mendaftarkan diri dalam program tersebut untuk menanamkan investasi mereka di Indonesia, khususnya di Bali.
Meski prospeknya menjanjikan, gagasan family office ini masih menyisakan banyak pertanyaan mendasar.
Penolakan Purbaya terhadap penggunaan dana APBN menegaskan bahwa pemerintah belum memiliki kerangka kebijakan yang matang.
Para pengamat menilai, jika tidak diatur dengan transparan, proyek ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan membuka celah bagi praktik keuangan abu-abu, seperti penghindaran pajak.
Untuk itu, diperlukan perumusan regulasi yang jelas, transparansi mekanisme investasi, serta koordinasi lintas lembaga agar ambisi besar ini tidak hanya menjadi wacana, melainkan benar-benar mampu mendongkrak ekonomi nasional tanpa membebani keuangan negara.