PARBOABOA, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan penyediaan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, meskipun belakangan ini beredar isu adanya penyesuaian.
Kepastian itu disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI di Jakarta pada Rabu (1/10).
Laode menekankan, pemerintah tetap konsisten menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 yang mengharuskan negara menjamin ketersediaan energi, termasuk BBM, di seluruh pelosok negeri.
Ia juga mengingatkan adanya dasar hukum lain berupa Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan neraca komoditas setiap tahun.
Melalui mekanisme ini, pemerintah dapat mengatur keseimbangan pasokan dan kebutuhan nasional, termasuk menentukan rencana impor bagi BUMN maupun badan usaha swasta.
“Sesungguhnya tidak ada perubahan kebijakan mendasar. Neraca komoditas ini justru menjadi instrumen utama untuk memastikan pasokan BBM tetap terjaga, baik melalui produksi dalam negeri maupun impor,” jelas Laode di hadapan anggota DPR.
Pergeseran Pola Konsumsi BBM
Dalam kesempatan yang sama, Laode mengungkapkan adanya fenomena menarik terkait pola konsumsi BBM masyarakat sejak pertengahan 2025.
Berdasarkan data penjualan, masyarakat mulai mengurangi penggunaan Pertalite (RON 90) dan beralih ke bensin dengan kadar oktan lebih tinggi.
Penjualan harian Pertalite tercatat turun dari 81.106 kiloliter (KL) pada 2024 menjadi 76.970 KL pada 2025, atau menurun sekitar 5,1 persen.
Sebaliknya, konsumsi bensin non-subsidi meningkat signifikan. Jika pada 2024 penjualannya mencapai 19.061 KL, maka pada 2025 melonjak menjadi 22.723 KL, atau naik 19,21 persen.
Tren ini juga berdampak pada besaran kompensasi pemerintah untuk subsidi Pertalite. Tahun lalu, kompensasi yang dibayarkan mencapai Rp48,9 triliun, sementara pada 2025 nilainya diperkirakan hanya sekitar Rp36,3 triliun.
Dengan kata lain, terjadi efisiensi anggaran sebesar Rp12,6 triliun berkat pergeseran pola konsumsi tersebut.
“Jika dilihat dari pangsa pasar, bensin non-subsidi pada 2024 hanya 11 persen. Namun pada 2025, berdasarkan data Januari hingga Juli, sudah naik menjadi 15 persen. Ini artinya masyarakat makin banyak beralih ke BBM nonsubsidi,” ungkap Laode.
Meski demikian, perubahan pola konsumsi juga memunculkan tantangan baru dalam hal pasokan.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Pertamina tidak mendapatkan tambahan kuota impor 10 persen pada 2025, karena stoknya masih mencukupi.
Sebaliknya, badan usaha swasta justru diberi tambahan kuota impor sebesar 10 persen dari realisasi penjualan tahun sebelumnya.
Namun, stok BBM swasta terbukti lebih cepat menipis. Pada Agustus hingga September lalu, ketersediaan mereka mulai mengkhawatirkan.
Kondisi itu membuat pemerintah harus turun tangan dengan mengatur ulang neraca komoditas, termasuk mendorong kerja sama antara Pertamina dan SPBU swasta.
“Pertamina masih memiliki stok yang cukup banyak, sehingga kami mengambil langkah kolaborasi dengan SPBU swasta yang stoknya hampir habis. Ini bagian dari kewajiban pemerintah dalam menjaga kestabilan pasokan,” ujar Laode menutup pernyataannya.
Konteks Harga BBM 2025
Hingga September 2025, harga resmi BBM Pertamina adalah: Pertalite Rp10.000 per liter, Pertamax Rp13.300 per liter, dan Pertamax Turbo Rp15.900 per liter.
Adapun Dexlite dan Pertamina Dex dijual masing-masing Rp13.950 per liter dan Rp14.550 per liter.
Sementara itu, harga BBM di SPBU swasta relatif bersaing namun ketersediaannya terbatas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah tidak mengubah kebijakan BBM, dinamika konsumsi masyarakat dan ketersediaan stok tetap menuntut langkah adaptif.
Pergeseran dari BBM subsidi ke non-subsidi bukan hanya menekan beban fiskal, tetapi juga menandai perubahan preferensi masyarakat terhadap kualitas bahan bakar yang lebih baik.