PARBOABOA, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 17 September 2025, melantik Letnan Jenderal TNI (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Upacara pelantikan yang berlangsung di Istana Negara itu menjadi bagian dari reshuffle kabinet jilid III.
Selain Djamari, sejumlah tokoh juga ikut mengisi posisi strategis, seperti Erick Thohir yang dipercaya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga serta Muhammad Qodari sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Penunjukan Djamari sontak menyedot perhatian publik. Sebab, di masa lalu ia pernah menjadi salah satu perwira yang menandatangani keputusan pemecatan Prabowo dari dinas kemiliteran pada 1998 melalui Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Kini, dua dekade lebih setelah peristiwa bersejarah itu, ia justru dipercaya oleh mantan atasannya yang kini memimpin negara untuk menjaga stabilitas politik, hukum, dan keamanan nasional.
Kostrad hingga Kasum TNI
Djamari Chaniago lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 8 April 1949. Lulusan Akademi Militer 1971 ini meniti karier di korps infanteri dan banyak menghabiskan masa dinasnya di lingkungan Kostrad.
Sejak perwira pertama, ia dikenal disiplin dan piawai memimpin pasukan, hingga kemudian dipercaya sebagai Komandan Yonif Linud 330/Tri Dharma, Komandan Kodim 0501/Jakarta Pusat, hingga Kepala Staf Brigif Linud 18/Trisula.
Prestasinya membuat kariernya terus menanjak. Saat berpangkat kolonel, ia sudah menjabat Komandan Brigif Linud 18/Trisula dan Komandan Rindam I/Bukit Barisan.
Kariernya semakin cemerlang ketika dipromosikan menjadi Kepala Staf Divisi Infanteri 2/Kostrad yang sekaligus mengantarkannya meraih bintang satu.
Pada periode 1997–1998, Djamari dipercaya sebagai Pangdam III/Siliwangi, kemudian setahun berikutnya ditunjuk sebagai Pangkostrad.
Tak lama, ia naik menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada 1999–2000, sebelum akhirnya menutup karier militernya sebagai Kepala Staf Umum TNI (2000–2004).
Masa jabatannya bertepatan dengan era reformasi, ketika militer Indonesia tengah beradaptasi dengan tuntutan demokratisasi dan reposisi politik.
Reputasinya sebagai perwira yang profesional dan berpengalaman membuatnya dihormati di kalangan militer, sekaligus menjadi saksi penting dalam peralihan besar peran TNI dari politik ke ranah pertahanan murni.
Tokoh Kunci dalam DKP 1998
Nama Djamari makin lekat di ingatan publik setelah dirinya terlibat langsung dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998.
Saat itu ia dipercaya sebagai sekretaris dewan yang bertugas mengusut dugaan pelanggaran etika militer oleh Letjen Prabowo Subianto pasca-kerusuhan Mei 1998.
Dalam sidang DKP yang digelar pada 21 Agustus 1998, Djamari bersama enam jenderal lainnya, seperti Subagyo Hadisiswoyo, Fachrul Razi, dan Susilo Bambang Yudhoyono, menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari dinas militer.
Keputusan itu kemudian menjadi catatan penting dalam sejarah reformasi militer Indonesia.
Ironisnya, hampir tiga dekade setelah peristiwa itu, hubungan keduanya berbalik arah. Djamari yang dulu ikut merekomendasikan pemberhentian Prabowo, kini justru diberi amanah oleh Prabowo sebagai Menko Polhukam, sebuah jabatan strategis yang mengawal stabilitas politik, hukum, dan keamanan nasional.
Kiprah di Dunia Politik dan Bisnis
Selain di militer, Djamari Chaniago juga pernah menorehkan kiprah di panggung politik nasional.
Ia tercatat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, baik dari Fraksi Utusan Daerah Jawa Barat (1997–1998) maupun Fraksi ABRI (1998–1999).
Selepas pensiun, ia masuk ke dunia bisnis dan industri, salah satunya sebagai Komisaris Utama PT Semen Padang yang dijabatnya sejak 2015 hingga 2016.
Penunjukan itu diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) untuk menggantikan Letjen (Purn) Muzani Syukur.
Namun, kariernya tak selalu mulus. Pada Oktober 2020, nama Djamari sempat menjadi sorotan setelah rombongan motor gede Harley Owners Group Siliwangi Bandung Chapter (HOG SBC) yang ia pimpin terlibat insiden pengeroyokan terhadap dua anggota TNI di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Peristiwa bermula dari senggolan motor, yang kemudian berujung pada pengeroyokan dan terekam dalam video amatir hingga viral di media sosial.
Alih-alih meredakan ketegangan, Djamari kala itu menyebut insiden tersebut hanya sebagai masalah kecil.
Sikapnya memicu kritik publik, terutama karena dinilai kurang responsif terhadap keresahan masyarakat. Insiden ini kemudian menjadi catatan kontroversial dalam perjalanan kariernya di luar dunia militer.