PARBOABOA, Jakarta - Penghujung tahun 2024 menjadi hari yang sungguh malang untuk Novi (40), seorang kader tuberculosis (TB) di Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.
Ia tak pernah menyadari, pertemuan yang rutin dengan para penderita TB justru membawa maut dalam kehidupannya. Badannya kian kurus. Staminanya semakin melemah dari hari ke hari.
"Dia bilang dadanya sesak. Sesak sekali. Kakinya juga ada pembengkakan. Dia seperti sangat menderita," kenang Silvi Susanti, rekan Novi saat ditemui PARBOABOA, Minggu (26/10/2025).
Silvi sendiri merupakan kader TB di wilayah Palmerah. Perkenalannya dengan Novi terjadi karena keduanya sering bertemu saat kegiatan bersama di kelurahan, utamanya terkait program pengentasan TB.
"Pernah saya ngajarin dia bagaimana menginput data, siapa yang terindeks, dan cara kita bertemu dengan warga. Dia orangnya antusias dan mau belajar," tutur perempuan asal Sumatera Barat itu.
Namun demikian, tanpa disadari, kerja-kerja demikian justru merenggut nyawanya sendiri. Setelah terpapar bakteri tuberculosis cukup serius, Novi akhirnya meninggal dunia.
"Saya dikabari kawan kalau Novi meninggal sekitar pukul 02.00 WIB di RS Bhakti Mulia. Rasanya seperti mimpi. Tapi mau ngomong apa, semua sudah terlambat," ungkap Silvi sesenggukan.
Derita yang dialami Novi tak berhenti sampai di situ. Pasca kematiannya, tak satupun lembaga yang menyampaikan belasungkawa dan memberi santunan, kecuali dari Puskesmas Palmerah.
Padahal, kata Silvi, kader TB yang bekerja di Palmerah tercatat bernaung di bawah Yayasan GEMA Indonesia yang berperan sebagai sub recipient (SSR) untuk program TB di wilayah Jakarta Barat.
"Kita bekerja sama dengan GEMA. Tapi kok tidak ada timbal baliknya sama kita? Jangan kan dapat reward, masker saja kadang-kadang tidak dapat. Malah kita yang harus minta ke Pustu," tandasnya.

Silvi merasa kecewa dengan sikap pemerintah dan dinas yang abai terhadap keberadaan mereka. Kematian Novi membuatnya mengerti bahwa menjadi kader TB adalah pilihan pada jalan sunyi.
"Kita seperti tidak dihargai sama sekali. Padahal kalau mau dibilang, kita ini yang menjadi garda terdepan dalam pengentasan kasus TB," ujarnya lagi.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Ani Ruspitawati menepis anggapan bahwa pemerintah abai dan kurang memperhatikan nasib para kader TB.
Dalam sebuah pernyataan pada Minggu (26/10/2025), Ani bilang bahwa pemerintah "tetap memberikan perhatian kepada seluruh kader kesehatan, terutama dalam bentuk dukungan dan penghargaan."
Ia merinci, salah satu bentuk dukungan tersebut berupa pemberian obat saat sakit. Sementara itu, soal mekanisme honor, pihaknya sedang berupaya mengusulkan skema terbaik sesuai ketentuan dari pendonor.
Derita Ganda
Cerita tentang Novi hanyalah satu dari sekian banyak ironi yang dialami para kader TB di wilayah Palmerah. Mereka bekerja mati-matian, tetapi tak mendapat penghargaan yang setimpal.
Bunga Muhayanah (48), koordinator kader TB di Kecamatan Palmerah berkisah bahwa dirinya pernah ditolak oleh seorang warga di Kelurahan Jatipulo saat hendak mengambil sampel dahak.
"Dia meminta saya meninggalkan kartu tanda pengenal sama KTP. Dia bilang, kalau nggak, saya akan dilaporkan ke polisi," ungkap Muhayanah saat ditemui PARBOABOA, Minggu (26/10/2025).

Kader TB sejak 2020 itu berkata, dirinya merasa heran dengan permintaan warga tersebut yang justru merupakan calon perawat di RS Pelni.
"Bahkan, orang tua pasien itu bilang ke saya kalau sampai ada foto anaknya yang disebar ke kampus, maka saya akan dilaporkan ke polisi. Kok gini amat ya?" tanyanya heran.
Muhayanah tertegun dengan kejadian itu. Sebab kedatangannya hanya bermaksud membantu pasien agar keluar dari penyakit yang dialami. Namun sebaliknya, ia justru mendapat intimidasi.
"Dari kejadian ini, saya menilai bahwa orang dengan tingkat pendidikan tinggi belum tentu mengerti dengan penyakit TB. Mereka cenderung melihatnya sebagai aib yang harus ditutup rapat-rapat," katanya.
Pernyataan Muhayanah beralasan. Survei Yayasan Pujiono Centre Indonesia pada Tahun 2024 menemukan sejumlah kendala yang kerap dihadapi para kader TB, termasuk penolakan dari pasien.
Adapun kendala lain seperti ketiadaan logistik dan transportasi, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat, miskomunikasi dan kesulitan dalam proses pemeriksaan.
Kendala-kendala semacam ini terkadang menyulitkan mereka untuk berjuang menurunkan angka TB yang kian marak terjadi.
Laporan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat mencatat temuan signifikan kasus tuberculosis sepanjang awal tahun 2025. Dari Januari hingga Juni saja, terdapat 2.189 kasus penyakit menular tersebut.

Kasus ini tersebar di delapan kecamatan, antara lain Cengkareng (414 kasus), Kalideres (359 kasus), Tambora (344 kasus), Kebon Jeruk (247 kasus), Grogol Petamburan (233 kasus), Kembangan (232 kasus), Palmerah (205 kasus), serta Tamansari (155 kasus).
"Dengan jumlah demikian, kami tentu harus bekerja ekstra. Kami datang ke rumah warga, melakukan pendataan dan mendampingi mereka selama proses pemeriksaan hingga memastikan mereka mengkonsumsi obat secara rutin," ujar Muhayanah.
Namun demikian, semua jerih lelah ini tidak memperoleh bayaran setimpal. Baik Muhayanah maupun Silvi mengakui bahwa mereka tidak pernah mendapat gaji dari pekerjaan tersebut.
"Kita ini kader yang tidak dibayar. Kayak kader ikhlas. Kerja hanya untuk mencari pahala saja," pungkas Silvi kesal.
Ia bercerita, sejauh ini, mereka hanya diberikan biaya akomodasi saat berkunjung ke rumah pasien. Itu pun dihitung kalau mereka melakukan pengambilan dahak dan indeks pasien.
"Pengambilan dahak akan dibayar Rp10.000. Sementara kalau indeks akan diberikan biaya Rp50.000. Indeks itu kalau pasien positif TB. Tapi kalau mereka tidak terdeteksi, ya kami gak dapat," sambung Muhayanah.
Ia menerangkan, ada perubahan yang sangat besar terkait skema dan besaran biaya akomodasi untuk para kader TB sejak tahun 2025.
"Kalau sebelumnya itu pengambilan dahak dibayar Rp15.000. Sementara untuk program penyuluhan TB dibayar Rp50.000. Sekarang malah gak dapat sama sekali kalau penyuluhan," ujarnya lagi.
Tak sampai di situ, Muhayanah mengatakan pemberian honor tersebut baru diperoleh di akhir bulan. Sementara mereka dituntut untuk menyelesaikan semua laporan sudah sejak pertengahan bulan.
"Lebih parah lagi di tahun 2024. Itu bahkan sampai dua bulan berikutnya baru dibayar," kenangnya.
Dengan pengalaman-pengalaman ini, Muhayanah berharap agar pemerintah dan dinas terkait bisa memberi perhatian yang lebih serius untuk para kader TB yang bekerja di lapangan.
"Saya hanya berharap supaya kami diberi upah yang layak. Juga, dukungan moril dari pemerintah. Jangan sampai kayak kasus Novi kemarin. Kan sedih?"
Penyebab dan Jalan Keluar
Direktur Eksekutif STOP TB Partnership Indonesia (STPI), dr. Henry Diatmo, menyoroti dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya persoalan seperti yang dialami para kader TB.
Faktor pertama yakni ketegangan geopolitik, salah satunya imbas keputusan Presiden Donald Trump yang membubarkan USAID sehingga berdampak melemahkan dukungan internasional bagi upaya penanggulangan TB.

Henry merinci, sejauh ini dukungan terbesar bagi program penanggulangan tuberculosis di Indonesia berasal dari Hibah Global Fund yang menyumbang sekitar 64% total pendanaan.
"Sementara itu, kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 21%, dan sisanya sekitar 7% ditopang oleh berbagai mitra program," jelasnya dalam kegiatan Pembekalan TB Fellowship, Senin (6/10/2025) lalu.
Selain itu, faktor kedua disebabkan karena adanya kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah sehingga mempengaruhi mekanisme pendanaan program.
“Kondisi dalam negeri seperti kebijakan efisiensi yang dilakukan Pemerintahan Prabowo juga menjadi tantangan bagi upaya eliminasi TBC di Indonesia," ujar Henry.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri terdampak pemangkasan anggaran yang cukup serius di mana mereka hanya memperoleh dana senilai Rp19,6 triliun dari yang semula Rp105,7.
"Hal ini menunjukkan situasi pendanaan TBC di Indonesia belum kokoh, sebab memiliki ketergantungan terhadap pendanaan eksternal, sementara kontribusi domestik cenderung rendah," pungkasnya.
Kondisi ini sangat memprihatinkan sebab kasus TB di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sebaliknya, menurut Global TB Report 2024, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 1.090.000 kasus TB pada 2024.
Angka tersebut naik signifikan dibanding tahun 2023 yang mencatat terdapat 856.000 kasus baru, dan hampir tiga kali lipat dari total 443.000 kasus pada 2021.
Melemahnya pendanaan terhadap program TB berkonsekuensi langsung pada perlambatan target eliminasi TB 2030, serta berpotensi meningkatkan insiden dan angka mortalitas.
Selain itu, program-program yang bersentuhan langsung dengan TB disebut akan mandek. Begitu pula nasib para kader dan perawat yang bekerja di lapangan akan sulit mendapatkan jaminan setimpal.
Untuk menanggulangi persoalan ini, Henry mengusulkan empat langkah penting sebagai sinergi multisektor dengan mengoptimalkan sumber daya guna mendukung percepatan eliminasi TB.
Langkah-langkah tersebut antara lain, penguatan komitmen pemerintah daerah, mendorong kontribusi sektor swasta, pemberdayaan komunitas TBC dan dukungan teknis lainnya.
"Indonesia tidak boleh bergantung penuh pada donor asing. Sebaliknya, pemerintah perlu membuat daftar program prioritas penggunaan dana APBN berdasarkan data yang kuat," tegas Henry.
Terpisah, Wakil Menteri Kesehatan RI, dr. Benjamin Paulus Octavianus menegaskan bahwa pemerintah memiliki optimisme untuk mengeliminasi penyebaran TBC di tengah masyarakat.

Benjamin menyoroti perlunya strategi agresif penemuan kasus aktif (active case finding) sebagai kunci memutus rantai penularan.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa upaya eliminasi TB tidak bisa semata-mata menjadi urusan Kemenkes. Diperlukan kolaborasi dengan lembaga lain untuk mewujudkan visi Indonesia bebas TB.
"Kemenkes akan berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga lain, seperti Kemendagri, Kemendes, Kemensos, serta dukungan TNI–Polri, untuk menangani aspek sosial dan lingkungan yang memperburuk risiko penyakit," jelasnya mengutip siaran pers Kemenkes, Jumat (17/10/2025) lalu, .
Bagi Benjamin, TBC bukan hanya soal penyakit, tapi juga soal sosial dan lingkungan. Karena itu, ia menegaskan agar kerja sama lintas kementerian dilakukan, mulai dari perbaikan rumah, sanitasi, sampai jaminan sosial bagi pasien.
"Ini menjadi tanggung jawab kita agar dalam tiga tahun ke depan, angka TBC di Indonesia bisa turun drastis,” pungkasnya.
Tulisan ini mendapat pendanaan dari Yayasan STOP TB Partnership Indonesia (STPI) untuk program fellowship 3.0
