PARBOABOA, Jakarta – Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk. Rumah sakit di wilayah tersebut melaporkan dalam satu hari terakhir terdapat tujuh warga yang meninggal dunia akibat kelaparan dan malnutrisi, termasuk dua anak.
Dengan demikian, total korban jiwa akibat krisis pangan ini telah mencapai 251 orang, di antaranya 110 anak-anak.
Angka ini mencerminkan betapa rentannya kelompok usia muda menghadapi kelangkaan pangan di tengah blokade berkepanjangan.
Sejak 2 Maret 2024, Israel menutup seluruh akses perbatasan menuju Gaza dan menghalangi masuknya sebagian besar bantuan kemanusiaan berupa pangan maupun obat-obatan.
Kebijakan ini membuat lebih dari 2 juta penduduk Gaza hidup dalam situasi yang nyaris mustahil, di mana krisis pangan meluas dan kelaparan menjadi ancaman nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Laporan UNRWA dan WHO
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa kasus malnutrisi pada anak-anak berusia di bawah lima tahun meningkat dua kali lipat sepanjang Maret hingga Juni.
Kondisi tersebut diperparah oleh pengepungan yang masih berlangsung hingga hari ini.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa 1 dari 5 balita di Gaza kini menderita kekurangan gizi akut.
Fakta ini menegaskan bahwa Gaza tidak hanya menghadapi perang, tetapi juga krisis kesehatan paling serius dalam sejarah modernnya.
Sejak awal agresi Israel pada Oktober 2023, jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai 61.897 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Selain itu, lebih dari 155.660 orang mengalami luka-luka, sementara ribuan lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang belum dapat dijangkau tim medis maupun penyelamat.
Angka ini diyakini masih akan terus bertambah seiring keterbatasan evakuasi.
UNRWA dalam pernyataan resminya pada Sabtu (16/8) mengungkapkan bahwa lebih dari satu juta perempuan dan anak perempuan di Gaza kini menghadapi kelaparan massal, risiko kekerasan, serta pelecehan seksual.
Mereka terpaksa keluar mencari makanan dan air dengan mempertaruhkan nyawa, karena sering kali menjadi target serangan di jalanan.
Situasi ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak bukan hanya kelompok rentan, melainkan juga menjadi korban paling nyata dari blokade yang diberlakukan Israel.
Pada Kamis (14/8), sebanyak 108 organisasi non-pemerintah (NGO) menyatakan bahwa sejak Maret lalu, mayoritas lembaga internasional besar gagal mengirimkan bahkan satu truk bantuan pun ke Gaza akibat pembatasan ketat Israel.
Hanya dalam bulan Juli, lebih dari 60 permohonan pengiriman bantuan ditolak dengan alasan bahwa organisasi-organisasi tersebut tidak berwenang.
Padahal, bantuan berupa pangan dan obat-obatan adalah satu-satunya harapan bagi jutaan warga yang kini terjebak dalam bencana kelaparan.
Korban Bertambah Setiap Hari
Otoritas kesehatan di Gaza kembali melaporkan 11 kematian baru dalam 24 jam terakhir, termasuk seorang anak, akibat kelaparan dan malnutrisi.
Angka ini menambah daftar korban sehingga total kematian karena krisis pangan mencapai 251 jiwa, di mana 108 di antaranya adalah anak-anak.
Secara bersamaan, jumlah korban tewas akibat serangan militer Israel sejak Oktober 2023 telah melampaui 61.800 orang, dengan lebih dari 155.000 orang luka-luka.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB pada Jumat (15/8) juga melaporkan temuan yang mengejutkan. Antara 27 Mei hingga 13 Agustus, setidaknya 1.760 warga Palestina tewas saat berusaha mencari bantuan.
Dari jumlah tersebut, 994 orang tewas di sekitar lokasi-lokasi militerisasi non-PBB, sementara 766 lainnya terbunuh di sepanjang jalur konvoi bantuan.
Data ini menunjukkan betapa berbahayanya usaha warga Gaza hanya untuk memperoleh kebutuhan hidup dasar.