Childfree di Tengah Himpitan Kota: Antara Beban Ekonomi dan Pilihan Pribadi

Ilustrasi childfree. (Foto: Dok. ifestyle.espos.)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban dan derasnya arus informasi digital, muncul satu fenomena sosial yang mulai menyita perhatian: keputusan untuk childfree, atau tidak memiliki anak.

Meski masih minoritas, fenomena ini menunjukkan pertumbuhan yang patut dicermati, terutama di kawasan perkotaan Indonesia.

Apakah ini sekadar tren sesaat atau sinyal awal perubahan besar dalam struktur kependudukan nasional?

Fenomena childfree mulai teridentifikasi secara signifikan di wilayah perkotaan Indonesia.

Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan di Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN), Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, mengungkapkan bahwa keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak umumnya muncul dari masyarakat kota yang lebih terpapar pengaruh media sosial.

Dalam keterangannya pada Press Briefing State of World Population (SWP) 2025 yang digelar di kantor United Nations Population Fund (UNFPA), Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025), Boni menyebutkan bahwa fenomena ini tumbuh sebagai semacam tren urban.

Meski demikian, ia menekankan bahwa jumlah pasangan childfree di Indonesia masih tergolong kecil.

“Kebanyakan di perkotaan memang. Tapi saya katakan masih kecil. Ini terpengaruh oleh media sosial. Jadi semacam tren,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) turut memperkuat temuan tersebut lewat data tahun 2023 yang mencatat sekitar 71 ribu perempuan usia 15–49 tahun di Indonesia menyatakan tidak ingin memiliki anak.

Menariknya, angka tertinggi berasal dari Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, di mana masing-masing wilayah melaporkan proporsi perempuan childfree yang melebihi 10 persen pada 2022.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang apa yang sebenarnya mendorong para perempuan—khususnya di kota besar—untuk memilih hidup tanpa anak.

Meskipun persentasenya kecil—hanya sekitar 0,01 persen—pemerintah tak menutup mata terhadap potensi jangka panjang fenomena ini terhadap angka fertilitas nasional.

Boni menyebutkan bahwa penyebab childfree tidak hanya berasal dari pengaruh media sosial, namun juga menyentuh ranah personal dan emosional.

Trauma masa lalu seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu faktor dominan.

Menurutnya, ada perempuan yang memutuskan tidak menikah, apalagi memiliki anak, karena takut generasi berikutnya mengalami hal serupa.

“Itu terjadi juga, dia nggak mau anaknya mengalami hal serupa. Menikah pun nggak mau karena takut anaknya jadi korban seperti itu,” tutur Boni.

Selain trauma, faktor kesehatan dan ketidakstabilan ekonomi juga menjadi alasan kuat di balik keputusan ini.

Rasa tidak siap secara mental dan finansial untuk membesarkan anak dalam situasi yang belum pasti mendorong sebagian pasangan untuk menunda atau bahkan menolak memiliki keturunan.

Indonesia memang belum berada dalam kondisi darurat fertilitas, namun Boni memperingatkan bahwa beberapa daerah sudah menunjukkan Total Fertility Rate (TFR) di bawah dua—angka yang menjadi alarm awal bagi krisis populasi seperti yang kini dialami negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan.

“Kalau itu terus digaung-gaungkan ya akan menuju ke sana,” ujarnya. Boni menekankan pentingnya mengontrol penyebaran ide childfree agar tidak menjadi arus utama yang merugikan secara demografi dalam jangka panjang.

Jaminan Ekonomi

Mengantisipasi potensi berkembangnya fenomena childfree, Kemendukbangga/BKKBN mendorong pemerintah untuk memperkuat jaminan ekonomi dan perlindungan sosial. B

oni menegaskan bahwa penyebab utama seperti krisis ekonomi dan kurangnya jaminan kesehatan reproduksi harus dijawab dengan kebijakan yang solutif.

“Kalau permasalahannya adalah ekonomi, maka bagaimana meningkatkan jaminan ekonomi sehingga mereka juga ingin punya anak,” kata Boni.

Ini bukan sekadar soal insentif tunai, tapi juga tentang menciptakan sistem pendukung yang membuat pasangan merasa aman dan siap menjadi orang tua.

Dalam kerangka jangka panjang, pemerintah telah menyiapkan Peta Jalan Pembangunan Kependudukan yang mencakup indikator perlindungan anak serta upaya meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan.

Salah satu terobosan yang disebut sebagai program “quick wins” adalah Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya), yang menyediakan fasilitas penitipan anak di tempat kerja. Tujuannya jelas: agar perempuan tak harus memilih antara karier dan peran sebagai ibu.

Program ini juga menjadi bentuk nyata dari dukungan negara untuk meringankan beban ganda yang sering dialami perempuan di kota besar.

Meski fenomena childfree kerap dianggap sebagai tren media sosial, Boni menegaskan pentingnya memahami secara lebih mendalam apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Dalam pengamatannya di lingkungan kampus, ia mendapati bahwa sebagian besar mahasiswa masih memiliki keinginan untuk menikah dan memiliki anak, hanya saja waktunya belum tepat.

“Banyak yang jawab masih ingin punya anak, tapi belum siap. Artinya ini bukan childfree permanen, tapi delayed parenting,” ujarnya.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa fenomena ini masih cair dan belum tentu menjadi pola permanen.

Namun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan agar Indonesia tidak terjebak dalam jebakan demografi seperti yang kini tengah dihadapi negara maju.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS