PARBOABOA, Jakarta - Konflik antara PT Jawa Pos dan Dahlan Iskan selaku mantan Direktur Utama mereka kini memasuki babak baru.
Perusahaan yang didirikan The Chung Shen (Suseno Tedjo) pada 1949 itu akhirnya menanggapi gugatan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan Dahlan.
Dalam pernyataannya, pihak perusahaan menegaskan tidak memiliki utang kepada Dahlan sebesar Rp 54,5 miliar sebagaimana disebutkan dalam gugatan tersebut.
Kuasa hukum Jawa Pos, Leslie Sajogo, pada Kamis (03/7/2025) bilang bahwa pihaknya telah melakukan peninjauan terhadap seluruh catatan keuangan serta berkoordinasi dengan jajaran direksi.
"Hasilnya, tidak ditemukan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih seperti yang tercantum dalam permohonan PKPU itu," ujar Leslie Sajogo.
Gugatan Dahlan bermula dari klaim bahwa dirinya belum menerima pembagian dividen yang menjadi haknya sebagai pemegang saham. Ia menuding terdapat kekurangan pembayaran senilai Rp 54,5 miliar.
Namun, Leslie menyatakan keputusan terkait pembagian dividen telah ditetapkan secara kolektif dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada tahun 2003, 2006, 2012, dan 2016, yang juga dihadiri dan disetujui oleh Dahlan saat masih menjabat sebagai direktur utama.
Leslie juga menyampaikan bahwa hingga kini Dahlan masih memiliki sekitar 3,8 persen saham di Jawa Pos. Saham tersebut, menurutnya, merupakan hasil pemberian dari pemegang saham lainnya.
Sementara itu, pemilik saham mayoritas di perusahaan adalah PT Grafiti Pers, yang merupakan bagian dari penerbit Tempo.
"Tak pernah ada keberatan yang disampaikan sebelumnya terkait dividen. Semua keputusan dibuat dalam forum resmi dan disetujui secara bulat. Anehnya, gugatan ini justru melompat ke tahun-tahun yang berbeda tanpa urutan yang jelas," katanya.
Lebih jauh, Leslie menilai klaim tentang “utang dividen” sangat menyesatkan karena secara hukum dividen tidak dapat dikategorikan sebagai utang dagang yang bisa dijadikan dasar permohonan PKPU.
Menurutnya, mekanisme PKPU ditujukan untuk menyelesaikan persoalan utang yang nyata, jatuh tempo, dan belum dilunasi, bukan untuk sengketa interpretasi atas keputusan korporasi di masa lalu.
Ia juga mengungkapkan bahwa sebelum mengajukan PKPU, Dahlan sempat mengirim somasi dan menuntut akses terhadap dokumen-dokumen internal perusahaan.
Leslie menilai langkah tersebut tidak berdasar secara hukum, sebab tidak ada regulasi yang memperbolehkan pemegan saham mengakses seluruh dokumen operasional secara bebas.
Hak akses pemegang saham, katanya, terbatas pada dokumen yang berkaitan dengan forum-forum resmi seperti RUPS.
"Dokumen perusahaan tidak bisa dibuka sembarangan, apalagi untuk kepentingan menggugat perusahaan sendiri," ujar Leslie.
Pihak kuasa hukum Jawa Pos juga membantah klaim bahwa Dahlan telah mencoba menyelesaikan persoalan ini melalui jalur mediasi.
Leslie menjelaskan, satu-satunya komunikasi yang pernah dilakukan adalah tiga kali somasi, yang semuanya telah dijawab secara tertulis. Tidak pernah ada pertemuan langsung atau proses mediasi sebagaimana yang diklaim.
"Selama ini hanya kuasa hukumnya yang menyampaikan somasi. Tidak pernah ada komunikasi langsung dengan Pak Dahlan," imbuhnya.
Pihak Jawa Pos menyatakan siap menempuh jalur hukum hingga tuntas. Mereka juga akan mengambil langkah hukum jika ditemukan adanya penyebaran informasi yang menyesatkan atau merusak reputasi perusahaan.
Leslie menambahkan, pihaknya saat ini masih menunggu surat resmi dari pengadilan terkait permohonan PKPU yang diajukan.
"Sebagai bagian dari negara hukum, kami berhak membela diri dan menggugat balik jika tuduhan yang disampaikan tidak berdasar," tandasnya.
Diketahui, gugatan yang diajukan Dahlan terhadap PT Jawa Pos telah terdaftar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan nomor perkara 32/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Sby.
Dalam gugatan tersebut, Dahlan tercatat sebagai pemohon, sedangkan PT Jawa Pos sebagai termohon. Perkara diklasifikasikan sebagai permohonan PKPU.
Sidang perdana dijadwalkan akan berlangsung pada Jumat (18/7/2025) pukul 09.00 WIB di Ruang Sidang Kartika, PN Surabaya.