PARBOABOA, Jakarta – Hubungan segitiga antara Washington, Baghdad, dan Teheran kembali memasuki babak panas.
Langkah berani Iran dan Irak yang menandatangani perjanjian keamanan baru langsung memicu reaksi keras dari politisi Amerika Serikat.
Pernyataan tegas para pejabat di kedua negara tersebut soal kedaulatan semakin memperuncing ketegangan yang sejak lama membayangi kawasan.
Pemimpin Iran dan Irak resmi meneken perjanjian yang berfokus pada keamanan nasional. Kesepakatan itu menegaskan bahwa prioritas utama adalah melindungi rakyat di kedua negara.
Pesan ini juga dianggap sebagai simbol persatuan menghadapi tekanan eksternal, sekaligus penegasan posisi mereka sebagai negara berdaulat yang tidak tunduk pada kepentingan asing.
Reaksi keras segera datang dari Washington. Joe Wilson, anggota Kongres AS dari Partai Republik, menyebut perjanjian tersebut sebagai tanda bahwa Irak “menyerahkan kendali” kepada milisi pro-Iran.
Ia menuding bahwa kelompok bersenjata yang selama ini dicurigai menyerang warga AS justru mendapatkan legitimasi baru lewat langkah pemerintah Irak.
Lebih jauh, pejabat tinggi Iran dan Irak dengan lantang menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah dikendalikan kebijakan negara mana pun.
Bagi banyak pengamat, pernyataan ini jelas merupakan sindiran langsung terhadap Amerika Serikat yang selama dua dekade terakhir mencoba mempertahankan pengaruh politik dan militer di kawasan.
Pernyataan Joe Wilson kembali memperkeruh suasana politik di Washington. Lewat akun X (Twitter), ia menyoroti pertemuan antara penasihat keamanan nasional Irak dengan mitranya dari Iran.
Menurutnya, Baghdad tengah berupaya meloloskan aturan yang berpotensi “memberikan kendali penuh” kepada milisi pro-Iran atas negara.
Wilson menegaskan, paradoks semakin terlihat ketika miliaran dolar pajak rakyat Amerika tetap dikucurkan ke Irak dengan alasan memerangi terorisme, padahal pihak yang didanai justru dianggap sebagai ancaman langsung terhadap warga AS.
Politisi senior Partai Republik itu bahkan menyeret nama Donald Trump dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa mantan presiden AS tersebut bersama Kongres Republik tidak akan membiarkan “penipuan” seperti ini berlangsung lebih jauh.
“Saya bersyukur pada Trump yang selalu mengutamakan Amerika,” tulis Wilson.
Irak di Pusaran Dua Kekuatan Besar
Sejak invasi AS ke Irak pada 2003, hubungan Baghdad–Washington memang kerap diwarnai tarik-ulur antara kemitraan dan rasa saling curiga.
Irak berada di posisi geopolitik yang unik: satu sisi adalah sekutu militer AS, namun di sisi lain memiliki kedekatan erat dengan Iran—musuh utama Washington di kawasan.
Milisi pro-Iran sendiri memainkan peran penting dalam stabilitas politik dan keamanan Irak.
Meski bagi sebagian rakyat Irak mereka dianggap sebagai benteng pertahanan, bagi AS kelompok ini justru dilihat sebagai ancaman yang berbahaya terhadap pasukan dan kepentingan Amerika di Timur Tengah.
Pertemuan penting Iran–Irak berlangsung pada Senin, 11 Agustus 2025, di Baghdad. Kepala Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Larijani, hadir untuk menandatangani perjanjian keamanan tersebut.
Kunjungan ini tidak hanya fokus pada Irak, melainkan juga bagian dari tur regional Larijani yang mencakup Lebanon.
Dalam konferensi persnya, Larijani menegaskan pentingnya hubungan kedua negara.
“Irak adalah teman dan tetangga kami, dan kami memiliki hubungan dagang yang erat,” ujarnya, dikutip dari kantor berita resmi Iran, IRNA.