PARBOABOA, Jakarta - Penutupan paksa Rumah Doa Imanuel di Kecamatan Caringin, Garut, Jawa Barat, pada awal Agustus 2025 kembali membuka luka lama persoalan intoleransi di Indonesia.
Seorang pendeta beserta anaknya diusir dari wilayah tempat mereka mengabdi, memicu keprihatinan publik atas kebebasan beragama yang dijamin konstitusi namun kerap tergerus di lapangan.
Penutupan paksa Rumah Doa Imanuel di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, dilakukan oleh pemerintah daerah sejak 2 Agustus 2025.
Tempat ibadah umat Kristen ini telah disegel lebih dari sepekan. Menurut keterangan Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, tindakan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang nyata.
“Pelarangan ibadah ini adalah pelanggaran HAM,” ujarnya kepada media, Senin, 11 Agustus 2025.
Tidak hanya disegel, pemerintah daerah juga mengusir pendeta yang memimpin rumah doa tersebut, Dani Natanael, bersama anaknya yang duduk di kelas tiga SD.
Mereka dilarang tinggal di wilayah Kecamatan Caringin, dan terpaksa mengungsi ke Kabupaten Bandung. Yahya menuturkan bahwa pada 3 Agustus, Dani dan anaknya dibawa ke Kantor Desa Purbayani untuk diinterogasi.
Dalam proses itu, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan bahwa mereka meninggalkan rumah doa secara “sukarela” dan berjanji tidak lagi mengadakan kegiatan keagamaan di Caringin.
Kesepakatan Kontroversial
Dalam pertemuan yang difasilitasi pemerintah desa, dibuat berita acara kesepakatan yang menetapkan Rumah Doa Imanuel ditutup secara permanen.
Selain itu, dilarang diadakannya peribadatan, pembinaan iman umat Kristen, maupun kegiatan sosial seperti pembagian sembako.
“Kami ini minoritas, apa pun yang kami lakukan selalu dianggap salah,” ujar Yahya.
Menurutnya, rumah doa itu berdiri sejak 2010 untuk melayani jemaat Kristen di Garut Selatan dan Cianjur, mengingat jarak gereja terdekat mencapai lebih dari 100 kilometer.
Rumah Doa Imanuel melayani sekitar 100 umat Kristen yang tersebar di lima kecamatan: Cibalong, Pameungpeuk, Cikelet, Caringin, dan Bungbulang.
Kegiatan ibadah biasanya dilakukan sebulan sekali, dan sebelum pandemi COVID-19 sempat dilakukan setiap minggu.
Yahya menekankan bahwa keberadaan rumah doa ini murni untuk memenuhi kebutuhan spiritual jemaat, bukan untuk melakukan misi tertentu seperti yang kerap dituduhkan.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut, Nurrodhin, menyatakan bahwa penutupan dilakukan karena rumah doa tidak memiliki izin resmi.
Menurutnya, penghentian aktivitas dilakukan secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama.
Ia juga menyebut adanya dugaan bahwa sebagian warga sekitar berpindah agama setelah menerima bantuan sembako, namun hasil verifikasi tidak menemukan bukti perpindahan keyakinan.
“Kalau mengikuti aturan, tidak akan ada persoalan. Inshaallah kita fasilitasi,” ujarnya.
Humas Kementerian Agama Kabupaten Garut, Soni, mengimbau semua pihak untuk menahan diri dan tidak mengeluarkan narasi yang dapat memicu ketegangan.
Ia menegaskan bahwa Kemenag akan mendorong mediasi melalui penyuluh agama dan ASN, untuk memberikan edukasi moderasi beragama dan mencegah keretakan hubungan sosial di masyarakat.
Diketahui, kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Setara Institute mencatat bahwa sepanjang 2024, terdapat 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 168 bentuk tindakan intoleransi.
Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, mencatat lebih dari 20 insiden, termasuk penutupan rumah ibadah, pelarangan perayaan keagamaan, dan intimidasi terhadap kelompok minoritas.
Data ini menunjukkan bahwa meski konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, praktik di lapangan masih jauh dari ideal.