Indonesia Airlines Belum Bisa Terbang: Apa Penyebabnya?

PT Indonesia Airlines Holding belum dapat menjalankan layanan penerbangan. (Foto: Adobe Stock/Dong Nhat Huy)

PARBOABOA, Jakarta - Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menegaskan bahwa PT Indonesia Airlines Holding belum dapat menjalankan layanan penerbangan. 

Alasannya, status Sertifikat Standar yang dimiliki perusahaan tersebut masih tercatat sebagai belum terverifikasi.

Ketidaklengkapan ini disebabkan belum disampaikannya dokumen Rencana Usaha, yang merupakan syarat teknis penting untuk mendapatkan verifikasi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. 

Padahal, meski perusahaan telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar untuk jenis layanan angkutan udara niaga, baik berjadwal maupun tidak, statusnya masih belum valid dalam sistem Online Single Submission (OSS) dan SIPTAU (Sistem Informasi Perizinan Terpadu Angkutan Udara).

Akibat status yang belum terverifikasi tersebut, keberadaan Sertifikat Standar belum memiliki kekuatan hukum untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan layanan penerbangan komersial.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, dalam siaran pers pada Jumat (18/7/2025) menekankan bahwa verifikasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam sistem perizinan. 

Ia menyatakan bahwa selama proses ini belum rampung, belum ada kepastian hukum bagi maskapai untuk mulai beroperasi.

Ketentuan mengenai pendirian usaha angkutan udara sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025. 

Di dalamnya disebutkan bahwa setiap badan usaha wajib memiliki NIB dan Sertifikat Standar sebagai dokumen dasar, yang hanya akan berlaku setelah seluruh persyaratan diverifikasi oleh otoritas terkait.

Sebagai bagian dari proses tersebut, perusahaan penerbangan diwajibkan mengunggah Rencana Usaha jangka menengah selama lima tahun ke depan ke dalam sistem SIPTAU yang terhubung dengan OSS. 

Dokumen ini harus mencakup berbagai aspek penting seperti kepemilikan dan penguasaan armada pesawat, rencana wilayah operasi atau rute penerbangan, kebutuhan tenaga kerja, kapasitas keuangan, serta komponen pendukung lainnya.

Untuk pemohon layanan angkutan udara niaga berjadwal, perusahaan minimal harus memiliki satu unit pesawat sendiri dan menguasai dua unit lainnya. 

Jika permohonan mencakup lebih dari satu jenis layanan, jumlah armada juga harus menyesuaikan dengan cakupan operasional yang diajukan.

Apabila seluruh dokumen dianggap memenuhi syarat, status Sertifikat Standar akan berubah menjadi terverifikasi. 

Setelah itu, maskapai bisa mengajukan permohonan Air Operator Certificate (AOC), yang melibatkan serangkaian tahapan mulai dari pra-permohonan, evaluasi dokumen teknis, hingga inspeksi dan demonstrasi operasional.

Jika AOC sudah dikantongi, barulah maskapai diperbolehkan mengajukan izin rute penerbangan dan menyerahkan standar pelayanan kepada penumpang. 

Ketentuan ini dimuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 35 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, serta PM 30 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal.

Melihat alur perizinan yang panjang dan ketat ini, pemerintah mengingatkan bahwa proses pendirian maskapai tidak bisa hanya dilihat dari sisi administratif semata. 

Seluruh tahapan tersebut juga merupakan bagian dari sistem pengawasan terhadap aspek keselamatan dan kesiapan operasional.

Keterbukaan Informasi

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara merasa perlu meluruskan informasi yang telah beredar di publik yang menyebutkan bahwa Indonesia Airlines sudah siap beroperasi. 

Menurut Lukman, publikasi yang belum berdasarkan status perizinan resmi justru dapat menciptakan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa pihaknya tetap mendukung pendirian maskapai baru sepanjang seluruh proses dilalui secara tertib, transparan, dan sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan informasi agar kepercayaan publik dan iklim investasi tetap terjaga.

Menurutnya, “keterbukaan informasi menjadi kunci untuk menjaga kredibilitas sistem dan iklim usaha yang sehat.” 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS